Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketahanan Energi dan Pengelolaan Permintaan

20 Juni 2025   22:45 Diperbarui: 20 Juni 2025   22:45 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generated by Dall-E

Indonesia tengah menghadapi paradoks energi. Di satu sisi, pemerintah mencanangkan target ambisius bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun pada kenyataannya, hingga 2024 porsi energi terbarukan baru mencapai 13,93%, sementara sistem kelistrikan nasional masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Di sisi lain, permintaan listrik terus meningkat tajam.

Proyeksi menyebutkan bahwa pada 2045, permintaan energi Indonesia akan meningkat tiga kali lipat, didorong oleh konsumsi rumah tangga dan industri. Tantangan utamanya bukan hanya soal menambah pasokan energi, tetapi bagaimana mengelola konsumsi secara lebih cerdas dan efisien.

Di tingkat global, tren serupa juga terjadi. Permintaan energi dunia naik 2,2% pada 2024, melampaui rata-rata dekade sebelumnya yang hanya 1,3%. Sebagian besar pertumbuhan ini datang dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Sayangnya, pendekatan dominan selama ini hanya terpaku pada peningkatan pasokan---entah itu dari batu bara, gas alam, maupun tenaga surya.

Padahal, satu pilar penting dalam menjaga ketahanan energi justru terletak pada sisi permintaan, melalui strategi Demand-Side Management (DSM). DSM secara sederhana berarti mengubah pola konsumsi energi agar lebih efisien dan andal, tanpa harus terus menambah kapasitas pembangkit.

Indonesia sebenarnya telah mengakui pentingnya DSM dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan target penurunan intensitas energi sebesar 1% per tahun dan penghematan 17,4% energi dibanding skenario normal pada 2025. Namun implementasinya lambat dan sering kalah perhatian dibanding proyek pembangkit baru. Ini adalah kelalaian yang mahal.

DSM bukan sekadar hemat listrik atau mematikan lampu. Ini adalah alat strategis yang, jika diterapkan serius, dapat mengurangi tekanan terhadap jaringan listrik, menunda kebutuhan investasi infrastruktur mahal, dan menyelaraskan konsumsi energi dengan ketersediaan pasokan terbarukan yang bersifat fluktuatif.

Masalah intermitensi energi terbarukan seperti surya dan angin adalah tantangan nyata di Indonesia. Energi matahari memuncak di siang hari, sementara lonjakan permintaan biasanya terjadi di malam hari. Energi angin sulit diprediksi. DSM bisa menjadi jembatan---dengan menggeser jam operasi industri, memberi insentif pemakaian di luar jam sibuk, atau menyimpan energi melalui sistem baterai yang dikendalikan algoritma prediktif.

Inovasi teknologi memungkinkan hal ini. Smart meter, perangkat berbasis IoT, dan analisis data berbasis Akal Imitasi (AI) dapat memantau serta menyesuaikan konsumsi energi secara real-time. Negara seperti Korea Selatan dan Singapura telah mengadopsi teknologi jaringan listrik cerdas ini. Indonesia, yang tengah membangun ekonomi digital dan inisiatif kota pintar, memiliki peluang besar untuk menyusul.

Namun DSM bukan semata urusan teknologi dari atas ke bawah. Perubahan perilaku dan partisipasi publik sangat penting. Studi menunjukkan bahwa kampanye kesadaran, program literasi energi, bahkan insentif sederhana seperti laporan konsumsi energi komparatif, dapat menurunkan konsumsi rumah tangga hingga 10--15%. Di pedesaan, koperasi dan program penghematan energi berbasis komunitas terbukti efektif, terlebih jika dipadukan dengan sistem mikrogrid atau panel surya rumah.

Secara ekonomi, DSM adalah strategi cerdas. Dengan meratakan beban puncak, penyedia listrik bisa menghindari investasi mahal pada pembangkit cadangan dan mengurangi ketergantungan pada pembangkit fosil. Bagi konsumen, ini berarti tagihan lebih ringan dan pasokan yang lebih andal. Bagi negara, DSM adalah cara murah untuk mencapai target iklim tanpa harus membangun infrastruktur energi yang membebani anggaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun