Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Model Marchetti dan Masa Depan Energi

6 Maret 2025   17:42 Diperbarui: 7 Maret 2025   14:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Model Marchetti (Sumber: Marchetti et al., 1990)

Transisi energi, seperti perubahan sosial, jarang terjadi secara instan. Pergeseran ini mengikuti pola yang dapat diprediksi, sering kali tergambar dalam kurva S: adopsi lambat di awal, diikuti oleh pertumbuhan pesat, dan akhirnya mencapai titik jenuh saat teknologi matang.

Cesare Marchetti, seorang analis sistem visioner, pertama kali mengidentifikasi pola ini dalam risetnya tentang sistem energi. Pengamatannya memberikan wawasan berharga dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global---wawasan yang dapat dimanfaatkan Indonesia dalam mengarungi transisi energinya sendiri.

Model Marchetti menunjukkan bahwa setiap transisi energi, dari kayu ke batu bara pada abad ke-19, dari batu bara ke minyak pada abad ke-20, hingga ke gas alam dan nuklir di akhir abad ke-20, mengikuti kurva S. Gambar 1 menunjukkan model marchetti.

Model Marchetti (Sumber: Marchetti et al., 1990)
Model Marchetti (Sumber: Marchetti et al., 1990)

Setiap pergeseran dipengaruhi oleh inovasi teknologi, insentif ekonomi, dan ketersediaan sumber daya. Namun, perubahan ini berlangsung selama beberapa dekade, bahkan berabad-abad, mencerminkan resistensi dalam sistem yang telah mapan.

Investasi infrastruktur, dinamika pasar, dan kebiasaan masyarakat menciptakan hambatan besar bagi perubahan. Saat ini, meskipun dorongan global untuk energi terbarukan semakin kuat, bahan bakar fosil masih menyumbang lebih dari 80% konsumsi energi primer dunia.

Di Indonesia, keterlambatan ini terlihat dalam lambannya pengembangan energi angin dan surya. Hingga 2024, kapasitas tenaga surya hanya mencapai 256 MW, jauh dari potensi teknisnya sebesar 207 GW. Sementara itu, tenaga angin baru terpasang 154 MW, dari potensi 60 GW. Meskipun teknologi telah tersedia, tantangan utama terletak pada infrastruktur, regulasi, dan investasi yang belum optimal.

Krisis iklim menuntut perubahan lebih cepat dari yang ditunjukkan oleh model Marchetti. Untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius, dunia harus beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih dalam waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan transisi energi sebelumnya. Namun, percepatan ini menghadapi kendala besar, seperti hambatan investasi, kebijakan yang belum konsisten, dan penerimaan publik yang belum luas.

Di Indonesia, kendala ini semakin nyata dengan ketidakseimbangan antara potensi energi terbarukan dan kapasitas terpasangnya. Keterlambatan dalam memanfaatkan energi terbarukan memperburuk ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menambah risiko gangguan pasokan energi. Hal ini sudah terlihat dalam krisis gas alam, di mana pengurangan pasokan dari Blok Corridor sebesar 34% menyebabkan 1.500 industri di Jawa Barat dan Banten mengalami kesulitan operasional.

Tiga Pelajaran dari Model Marchetti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun