Transisi energi, seperti perubahan sosial, jarang terjadi secara instan. Pergeseran ini mengikuti pola yang dapat diprediksi, sering kali tergambar dalam kurva S: adopsi lambat di awal, diikuti oleh pertumbuhan pesat, dan akhirnya mencapai titik jenuh saat teknologi matang.
Cesare Marchetti, seorang analis sistem visioner, pertama kali mengidentifikasi pola ini dalam risetnya tentang sistem energi. Pengamatannya memberikan wawasan berharga dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global---wawasan yang dapat dimanfaatkan Indonesia dalam mengarungi transisi energinya sendiri.
Model Marchetti menunjukkan bahwa setiap transisi energi, dari kayu ke batu bara pada abad ke-19, dari batu bara ke minyak pada abad ke-20, hingga ke gas alam dan nuklir di akhir abad ke-20, mengikuti kurva S. Gambar 1 menunjukkan model marchetti.
Setiap pergeseran dipengaruhi oleh inovasi teknologi, insentif ekonomi, dan ketersediaan sumber daya. Namun, perubahan ini berlangsung selama beberapa dekade, bahkan berabad-abad, mencerminkan resistensi dalam sistem yang telah mapan.
Investasi infrastruktur, dinamika pasar, dan kebiasaan masyarakat menciptakan hambatan besar bagi perubahan. Saat ini, meskipun dorongan global untuk energi terbarukan semakin kuat, bahan bakar fosil masih menyumbang lebih dari 80% konsumsi energi primer dunia.
Di Indonesia, keterlambatan ini terlihat dalam lambannya pengembangan energi angin dan surya. Hingga 2024, kapasitas tenaga surya hanya mencapai 256 MW, jauh dari potensi teknisnya sebesar 207 GW. Sementara itu, tenaga angin baru terpasang 154 MW, dari potensi 60 GW. Meskipun teknologi telah tersedia, tantangan utama terletak pada infrastruktur, regulasi, dan investasi yang belum optimal.
Krisis iklim menuntut perubahan lebih cepat dari yang ditunjukkan oleh model Marchetti. Untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius, dunia harus beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih dalam waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan transisi energi sebelumnya. Namun, percepatan ini menghadapi kendala besar, seperti hambatan investasi, kebijakan yang belum konsisten, dan penerimaan publik yang belum luas.
Di Indonesia, kendala ini semakin nyata dengan ketidakseimbangan antara potensi energi terbarukan dan kapasitas terpasangnya. Keterlambatan dalam memanfaatkan energi terbarukan memperburuk ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menambah risiko gangguan pasokan energi. Hal ini sudah terlihat dalam krisis gas alam, di mana pengurangan pasokan dari Blok Corridor sebesar 34% menyebabkan 1.500 industri di Jawa Barat dan Banten mengalami kesulitan operasional.
Tiga Pelajaran dari Model Marchetti
Indonesia harus belajar dari pola transisi energi dalam sejarah sambil menyesuaikannya dengan tantangan unik yang dihadapinya saat ini. Ada tiga pelajaran utama yang dapat diterapkan:
Pertama, mempercepat sinergi kebijakan dan investasi. Sejarah menunjukkan bahwa inovasi saja tidak cukup untuk mendorong perubahan; dukungan kebijakan dan investasi yang jelas sangat diperlukan. Indonesia perlu menetapkan kebijakan jangka panjang yang lebih kuat, seperti subsidi untuk energi terbarukan, penyederhanaan perizinan proyek, dan insentif pajak untuk teknologi hijau. Kebijakan ini akan mempercepat posisi Indonesia dalam kurva S transisi energi.
Kedua, integrasi energi terbarukan dengan sistem yang ada. Model Marchetti menekankan pentingnya memanfaatkan sistem yang sudah ada untuk mempermudah transisi. Bagi Indonesia, ini berarti memastikan integrasi energi terbarukan ke dalam jaringan listrik yang ada sambil mengatasi inefisiensi yang masih terjadi dalam sektor energi lainnya, seperti gas alam. Krisis gas saat ini menjadi pengingat penting bahwa perencanaan transisi energi harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak terjadi gangguan serupa di sektor energi terbarukan.
Ketiga, mengembangkan solusi desentralisasi dan diversifikasi energi. Alih-alih hanya berfokus pada proyek energi skala besar, Indonesia juga perlu mengembangkan solusi desentralisasi seperti mikrogrid dan sistem hybrid yang menggabungkan tenaga surya dan angin. Pendekatan ini dapat meningkatkan ketahanan energi di daerah terpencil dan mengurangi ketergantungan pada infrastruktur bahan bakar fosil yang tersentralisasi.
Marchetti juga mengamati bahwa perilaku masyarakat memainkan peran besar dalam keberhasilan transisi energi. Di Indonesia, meningkatkan penerimaan publik terhadap energi terbarukan melalui edukasi dan keterlibatan komunitas menjadi langkah penting. Inisiatif seperti pembangunan mikrogrid berbasis komunitas di daerah pedesaan dapat membangun kepercayaan dan mempercepat adopsi energi bersih.
Kurva S bukanlah takdir; ini adalah pola yang dapat dipahami, ditantang, dan dipercepat jika diperlukan. Tantangan bagi Indonesia adalah bagaimana menavigasi transisi ini dengan memanfaatkan sumber daya, kebijakan, dan partisipasi masyarakat guna membangun masa depan energi yang berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI