Mohon tunggu...
Ega Wahyu P
Ega Wahyu P Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Seorang pengelana dari negeri Khatulistiwa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menjadi Guru: Antara Religius dan Realistis

26 Mei 2022   09:30 Diperbarui: 26 Mei 2022   09:31 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandangan kebanyakan masyarakat Nusantara cukup beragam terhadap profesi guru. Ada yang mengatakan guru itu suatu kehormatan, kemuliaan dan tidak semua orang mendapatkan amanah tersebut. Tetapi sebagian kecil justru memandang dengan sudut pandang remeh temeh, profesi buangan, suatu pekerjaan ketika tidak ada lagi pekerjaan lain. Menyakitkan memang mendengar perkataan tersebut, tetapi mereka beralasan kuat untuk berpendapat demikian.

Kata orang dulu, guru itu harus ikhlas lahir batin. Mengajar dengan penuh ketulusan, memberi ilmu tiada perhitungan dan mendapat pahala yang tiada kesudahan. Tetapi nyatanya, mereka yang menjadi guru terkadang harus membanting stir menyambi dagang, mencoba keberuntungan ekonomi di dunia yang lain. Faktanya demikian. Jadi, kemuliaan seperti apa yang didapatkan seorang guru?

Menyebarkan ilmu adalah kebaikan. Pandangan seperti itu sudah menjadi dogma di masyarakat. Siapa saja yang mengajarkan suatu ilmu, kemudian ilmu itu diamalkan oleh banyak pihak dan mendatangkan kebaikan, maka pengajar tersebut terus menerus mendapatkan pula kebaikannya.

Pandangan seperti itu adalah pandangan dasar dan pijakan seseorang untuk melangkah menjadi seorang guru. Ketika mereka terjun dalam dunia pendidikan, hati benar-benar harus ditempa dengan keikhlasan. Menyingkarkan rupiah dari pandangan qalbu. Menomorduakan nafsu manusia untuk kemaslahatan umat.

Tetapi semakin kesini, justru pandangan tersebut bersifat normatif. Seolah-olah guru adalah tidak boleh mendapatkan dunia yang lebih luas. Guru hanya diperbolehkan bermain dalam lingkaran kecil. Sehingga terciptalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan, yang bermuara pada problematika pendidikan.

Guru itu kunci pendidikan. Keberhasilan pendidikan dipengaruhi besar oleh kinerja guru. Bahkan niat yang sifatnya batin saja punya pengaruh terhadap hasil yang zahir. Apalagi kinerja guru yang jelas diatur oleh undang-undang, tentu menjadi poin utama dari sistem pendidikan.

Namun di lapangan justru berbanding terbalik dari harapan. Guru yang sejatinya menjadi contoh, guru yang sejatinya adalah kaum pembelajar, kutu buku, cakrawala pengetahuan yang luas, kepekaan sosial yang tinggi, profesionalitas, menjunjung tinggi harkat martabat profesi, kini seolah menjadi budak pendidikan. Guru dipaksa bekerja dengan beban yang berat, tetapi tidak dengan haknya. Kemerdekaan belajar yang digaungkan hanya isu belaka, kenyataannya guru tetap terjajah.

Beberapa guru harus mengerjakan dua hingga tiga pekerjaan dalam satu raga untuk memenuhi kehidupannya. Mereka yang bergaji kecil harus memutar otak agar dapur tetap ngebul. Setelah mengajar di sekolah, ada yang menjadi pedagang bakso, penjaja nasi goreng, ojek online, atau kembali mengajar di tempat yang berbeda. Raga mereka terforsir, setelah lelah di sekolah, harus kembali memaksakan tubuh berjibaku dengan dunia untuk mencari rupiah. 

Tidak ada yang melarang konsep gurupreneur, guru yang juga sebagai pengusaha. Siapapun tidak bisa membatasi seorang guru untuk berkreativitas, apalagi soal dunianya. Namun kebanyakan guru yang terjun dalam dunia tersebut akan terganggu fokusnya dalam mengajar. Jangankan berbisnis, mendapat tugas tambahan sebagai bendahara atau operator sekolah saja sudah kelabakan. Tetapi apa mau dikata, gaji kecil mengharuskan para guru melaksanakan semua itu.

Sehingga jangan heran lagi ketika guru tidak punya gebrakan dalam dunia pendidikan. Jangan heran pula teknis dan taktis mengajar terkesan konvensional tanpa kreativitas. Para guru bukannya tidak mampu berinovasi, hanya rezeki mereka yang terkesan "dibatasi", walau Tuhan tidak pernah membatasi rezeki.

Maklum saja, pendidikan di Indonesia sulit mendapatkan keberhasilan yang hakiki. Belajar dari cara menghargai, para guru adalah orang yang berdedikasi, namun dipandang setengah hati. Membayar honor guru seperti membayar hutang, suatu kewajiban tetapi berat untuk ditunaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun