Dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren sosial yang menarik perhatian publik terkait keputusan sebagian perempuan dan pasangan di Indonesia untuk menjalani hidup tanpa anak atau yang dikenal dengan istilah childfree. Fenomena ini menandai adanya pergeseran cara pandang terhadap makna pernikahan, keluarga, dan reproduksi di tengah masyarakat yang selama ini menempatkan memiliki anak sebagai tujuan utama sebuah pernikahan. Banyak perempuan modern kini lebih sadar akan hak atas tubuhnya sendiri, serta memiliki pandangan yang lebih rasional dan terencana mengenai kesiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum memutuskan untuk memiliki anak. (Chrastil, 2020) Pilihan untuk childfree sering kali lahir bukan karena penolakan terhadap nilai keluarga, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab dan kesadaran diri akan konsekuensi menjadi orang tua.Â
Namun, di tengah masyarakat Indonesia yang masih kuat dipengaruhi nilai-nilai patriarki dan norma agama, keputusan ini seringkali menuai kontroversi. Tidak sedikit yang memandangnya sebagai bentuk egoisme atau penyimpangan dari kodrat perempuan. Padahal, fenomena childfree sesungguhnya mencerminkan dinamika sosial yang lebih kompleks, yaitu pertarungan antara nilai tradisional dan semangat modernitas yang menekankan kebebasan individu. Dalam konteks ini, keputusan untuk tidak memiliki anak menjadi simbol perubahan zaman di mana perempuan tidak lagi sekadar mengikuti atau tunduk pada pandangan masyarakat yang sudah terbentuk mengenai peran tradisional perempuan di ranah rumah tangga, melainkan memiliki ruang untuk menentukan arah hidupnya sendiri. fenomena ini menimbulkan perdebatan sengit antara tradisi dan modernitas, antara kodrat dan kebebasan.Â
Teori Feminisme terhadap Fenomena ChildfreeÂ
Fenomena childfree dapat dianalisis melalui lensa teori feminisme, khususnya feminisme liberal yang menekankan pada kebebasan individu dan kesetaraan gender. Feminisme berangkat dari gagasan bahwa perempuan bukanlah makhluk kelas dua yang hidup di bawah dominasi laki-laki, melainkan manusia yang memiliki hak penuh untuk menentukan arah hidupnya, termasuk dalam hal reproduksi. Selama berabad-abad, perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat di bawah sistem patriarki. Mereka dibebani dengan doktrin sosial yang secara simbolik menegaskan ketergantungan perempuan pada suami.Â
Namun, dengan berkembangnya kesadaran feminisme, perempuan mulai menyadari bahwa tubuh mereka bukanlah milik orang lain bukan milik suami, keluarga, atau masyarakat. Perempuan memiliki hak untuk menentukan apakah ia ingin hamil, melahirkan, atau tidak. Istilah childfree diartikan sebagai seseorang yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Definisi sederhana ini menggambarkan bahwa pilihan untuk childfree bukan sekadar akibat keadaan, melainkan hasil dari keputusan sadar dan terencana. Pilihan ini menjadi bentuk ekspresi dari kebebasan individu dalam menentukan arah hidupnya sendiri, yang pada akhirnya menantang norma tradisional yang sering mengaitkan kesuksesan perempuan dengan kemampuan melahirkan dan menjadi ibu.Â
Dalam era kontemporer, banyak perempuan yang memilih fokus pada karier, pendidikan, atau kesejahteraan diri karena mereka menolak menjadi "mesin reproduksi" tanpa persetujuan diri yang utuh. Faktor-faktor eksternal seperti tekanan ekonomi, ketidakstabilan kerja, dan kebijakan keluarga yang tidak ramah terhadap perempuan pekerja turut memperkuat alasan rasional di balik keputusan childfree. Sementara faktor internal seperti kematangan emosional, pengalaman keluarga, dan kesehatan reproduksi menjadi pertimbangan penting yang menunjukkan kedewasaan perempuan dalam menentukan jalan hidupnya. (Szymanska, Yang Tidak Memiliki Anak Karena Pilihan Dalam Persepsi Orang Dewasa, 2011)
Refleksi Kritis terhadap Realitas SosialÂ
Meski kesadaran akan kebebasan perempuan meningkat, realitas sosial di Indonesia masih memperlihatkan adanya resistensi kuat terhadap gagasan childfree. Banyak masyarakat yang menilai perempuan childfree sebagai egois, tidak bersyukur, atau melanggar kodrat. Pandangan ini sejatinya lahir dari sistem nilai patriarki yang menempatkan perempuan sebagai penjaga moral keluarga dan penerus keturunan. Pandangan tradisional semacam ini menutup ruang dialog yang sehat mengenai hak-hak reproduksi perempuan.Â
Padahal, menurut data demografis, Indonesia kini tengah mengalami tren penurunan angka kelahiran yang signifikan dari 15,94 pada tahun 2023 kemudian naik menjadi 16,61 di tahun berikutnya dan menjadi 16,4 pada 2025. (Hakiki, 2025)Â