gelombang demonstrasi pada 30 Agustus 2025 meninggalkan luka mendalam bagi publik Indonesia. Sejak malam hingga dini hari, bentrokan pecah di Jakarta dan sejumlah kota besar. Aparat gabungan Polri dan TNI berhadapan langsung dengan massa, melepaskan gas air mata, peluru karet, serta mengerahkan kendaraan taktis. Namun, di tengah kekacauan itu, muncul dugaan serius dari massa bahwa aparat juga menggunakan peluru tajam dalam upaya pembubaran. Beberapa rekaman amatir yang beredar di media sosial menunjukkan suara letusan senjata yang diduga bukan sekadar gas air mata.
Aksi yang semula bernuansa damai mulai berubah drastis. Sejumlah pendemo diduga melakukan tindakan anarkis, seperti merusak pagar pengaman, membakar benda di jalan, dan memaksa menerobos barikade aparat. Kondisi ini membuat kawasan sekitar DPR menjadi arena kekacauan. Kepulan asap membubung dari sisa pembakaran, sementara demonstran berusaha membangun barikade tandingan menggunakan material seadanya. situasi inilah yang kemudian mendorong aparat menilai aksi telah keluar dari regulasi yang berlaku.
Di tengah tensi yang meningkat, aparat gabungan dari TNI dan Polri mengambil tindakan eskalasi. Polisi menyatakan secara terbuka bahwa aksi sudah mencapai titik anarkis, sehingga penggunaan peluru tajam tidak bisa lagi dihindari. Tidak lama berselang, suara letusan senjata terdengat bertubi-tubi di antara gas air mata yang masih menyelimuti jalanan. Massa yang sebelumnya berusaha bertahan akhirnya porak-poranda, berhamburan mencari perlindungan di gang-gang kecil maupun area gepa sekitar senayan.
suasana pada pukul 23.00 hingga dini hari menjadi mencekam. Jalanan dipenuhi teriakan panik, dentuman senjata, dan sorakan marah yang bercampur dengan rasa takut. Beberapa demonstran mencoba melawan dengan lemparan batu, namun kalah oleh kekuatan aparat yang lengkap dengan senjata dan kendaraan taktis. Di beberapa titik, lampu jalan padam, memperparah kepanikan karena massa tidak dapat melihat jelas arah pelarian. Chaos yang berlangsung hampir tiga jam itu mengubah suasana protes menjadi malam penuh ketegangna dan ancaman nyata bagi keselamatan.
peristiwa malam 30 Agustus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi rakyat, demonstrasi adalah hak demokratis, namun jangan sampai berubah menjadi anarkis yang justru merugikan diri sendiri dan melemahkan suara perjuangan. Bagi pemerintah, kejadian ini menjadi peringatan keras bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam, bahkan sejarah 1998 bisa terulang jika kezaliman dipaksakan terus-menerus. Rakyat Indonesia telah membuktikan berkali-kali bahwa mereka tidak pernah gentar ketika haknya diinjak. Dan kepada DPR, sindirian paling taham patut diarahkan : ketika negeri sedang kacau dan rakyatnya berdarah-darah di jalanan, justru para wakil rakyat memilih berlibur dan kabur ke luar negeri. Sebuah ironi pahit yang menegaskan betapa jauhnya mereka dari realitas rakyat yang seharusnya mereka wakili.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI