Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Saat Ngabuburit, Mampir TBM Jambu, Anak Desa Jambu Bikin Buku, Keren

30 Maret 2024   20:28 Diperbarui: 30 Maret 2024   21:39 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat jenuh di rumah, ide menulis buntu, kucoba mencari angin segar.  Motor kukeluarkan dari rumah, kekendarai tanpa tujuan. Pokoknya habiskan waktu, sampai saatnya buka tiba.

Ngabuburit.

Aku kelilingi semua jalan di desaku. Sambil melihat aneka pemandangan di jalan, rumah-rumah, pohon dan sawah. Tak terasa aku masuk desa sebelah, desa Jambu kecamatan Kayen Kidul, wilayah Kabupaten Kediri.

Dari jauh telah nampak desa ini. Dikelilingi hamparan sawah yang luas. Dipagari rumpun bambu yang  cukup rapat. Persis tipologi desa kuno masyarakat Jawa. Desa babarongan.

Tentu dulu rumpun bambu itu lebih rapat lagi. Sebelum seorang bupati Kediri pernah ada yang mencanangkan program untuk mènghabisinya. Mungkin ia kurang mengkaji, betapa besar manfaat bambu.


Rumpun-rumpun bambu itu jadi sumber bahan makanan yang lezat. Iapun bisa didayagunakan untuk alat rumah tangga, bahan baku pembuatan rumah. Untuk keperluan di sawah. Juga penangkal berbagai bencana, angin, hewan buas, dan musuh yang mengancaam desa.

Hehe nglantur..... bahas bambu.

Aku ingat pernah diberitahu sahabatku.  Bahwa di desa ini ada sebuah perpustakaan, yang dijadikan sebagai pusat pendampingan warga desa untuk gemar membaca.  

Bahkan tidak sekedar itu. Konon mereka telah berhasil mencetak sebuah buku karya anak-anak remaja desa ini. Benarkah ?. Kede ngaranya kok bombastis.   Agak meragukan.  

Segera aku kelilingi desa ini.  Perpustakaan itu katanya berdiri di dekat masjid.  Setelah berputar-putar sebentar, setiap jalan kulalui, saban gang kumasuki, akhirnya ketemu juga.  

Di selatan masjid terpampang sepanduk berjajar- jajar. Bergambar anak- anak membaca, di antara deretan tulisan puluhan paragraf, mengelilingi bangunan kecil bertembok batu.  Inilah  perpustakaan itu. Sangat sederhana.

Tempatnya sangat tersembunyi, di bawah rumpun bambu yang lebat. Pohon-pohon besar mengelilinginya. Di depan bangunan rumah dua atap terdapat tempat untuk gelaran acara seni, dengan latar sepanduk yang sangat lebar.

Namun sayang, perpustakaan itu tutup.  Demikian juga rumah hunian yang gandeng dengannya.

Balik jalan apa lanjut ?  Perang batin gemuruh di dada. Balik jalan sayang. Mau lanjut pasti akan ganggu orang. Saat puasa, jam segini enak-enaknya orang tidur.

Akhirnya kupilih lanjut saja.

Kuketok pintu rumah hunian. Namun terdengar pintu perpustakaan yang dibuka. Muncul lelaki muda kuning gemuk memperlihatkan senyumnya. Aku uluk salam.

Usai jabat tangan aku dipersilakan masuk. Mataku disambut deretan buku di rak kayu yang rapi tertata. Mungkin jumlahnya ribuan.  Sungguh aku tercengang.

Dokpri
Dokpri

Namanya Ahmad Ikhwan Susilo.  Dari namanya mudah ditebak, ia lahir di keluarga Jawa pemeluk Islam. Masyarakat Jambu sendiri sebenarnya bukan masyarakat Islam yang taat. Tradisi pondok pesantren melekat kuat hanya pada kelompok  kecil saja, minoritas.

Banyak remaja Jambu yang masuk kelompok rentan. Mereka telah terpapar budaya miras, balap liar bahkan narkoba. Pernah kejadian di desa ini 3 remaja mati karena miras.

Terkait budaya baca kelompok minoritas ini diperoleh dari sekolah sekolah berbasis agama. Pondok pesantren, madrasah diniyah, atau sekolah sekolah keagamaan yang lain. Mereka punya bekal kebiasaan tadarus Alqur'an, sema'an, diba'an, barjanzi, dan mbalah. Tradisi ini terwariskan dari generasi-ke generasi.

Bagaimana awal gagasan muncul

Pada dasarnya ide mendirikan taman baca di dusun Jambu ini lebih karena alasan yang sederhana. Keinginan dia pribadi untuk membuat komunitas di kampung yang melibatkan anak-anak, remaja, dan para pemuda. Kondisi di atas bukanlah alasan utama taman baca ini lahir. Hal itu hanyalah sebuah kebetulan belaka. 

Karena memang selama ini belum pernah ada sebuah organisasi atau komunitas yang mampu menjadi wadah untuk memberikan pendidikan non formal ke mereka. Wadah untuk menempa potensi kreatifitas generasi muda desa dalam berkarya. 

Kalau pun ada keberadaannya hanya sebatas ‘nama’. Misalkan karang taruna, remaja masjid atau organisasi desa lainnya; kebanyakan organisasi di Jambu adalah organisasi keagamaan. Organisasi ini mengalami kemandegan yang cukup lama karena tidak adanya proses regenerasi dan pendidikan bagi anggotanya.

Alasan lain – dan inilah penyebab utamanya – karena dia nganggur!

Tahun 2007 adalah tahun terberat bagi dia setelah memutuskan untuk hengkang dari Jogja dan kembali ke Jambu. Dia mengalami stres berat. Tidak banyak aktifitas yang bisa dia lakukan di Jambu. Kondisi ini sungguh bertolak belakang ketika dia masih berada di Jogja. 

Di sana dia  banyak bergerak. Banyak belajar dengan teman-teman komunitas. Sedang di Kediri dia harus mencari-cari organisasi atau komunitas mana yang bisa dia pijak. Memetakan satu persatu. Mencoba memperkenalkan diri ke beberapa teman-teman di Kediri. Hingga akhirnya dia harus memulainya sendiri dari awal. Dari dusun dia sendiri. Hal yang dia rasa cukup berat.

Awal mulanya dia bingung wadah seperti apa yang akan dia bentuk di Jambu. Sedang orang-orang Jambu sendiri tidak banyak yang mengenalnya. Begitu pula sebaliknya. Di Jambu sendiri komunitas-komunitas kreatif bisa dikata hampir tidak ada. 

Pada fase kebingungan itu dia mencoba berdinamika di satu komunitas kecil di luar Jambu. Sambil terus berpikir wadah apa yang pas untuk Jambu. Komunitas itu bernama Cangkir Kopi.
Komunitas ini lebih berproses ke musik dan film dokumenter.

Namun tak lama berselang dia memutuskan untuk hengkang dari komunitas tersebut dan kembali fokus ke tujuan awal membentuk wadah di kampung sendiri. Selain sebab beberapa anggotanya yang memutuskan untuk merantau ke luar Jawa. Sekelebat gagasan itu mulai terlintas di pikiran. Ibarat orang menerima wangsit. 

Dia berpikir menarik kiranya bila mendirikan sebuah taman baca untuk warga. Karena kebetulan secara modal awal dia sudah punya beberapa koleksi buku hasil jerih payah selama di Jogja.Tidak banyak memang, namun cukup untuk mengawali. Dan kebetulan yang lain oleh sebab di Jambu sama sekali belum ada perpustakaan desa!

Dok.tbm.jambu
Dok.tbm.jambu

Lahirnya Taman Baca

Meski gagasan telah lahir tidak lantas langsung terwujud. Banyak kendala yang dia alami. Mulai dari konsep, tempat, hingga pembiayaan untuk hal-hal teknis yang remeh-temeh. Tentu semua harus dipersiapkan dengan matang. 

Dia tidak bisa bergerak sendiri, harus merangkul orang-orang Jambu yang minimal mau mendampingi dan membantu ala kadarnya. Sebab bekerja sendiri itu sangat berat dan melelahkan. Stres sudah pasti. Namun sayang sekali lagi dia terpaksa harus menanggung sendiri. 

Dia belum berhasil mendapat teman yang bersedia membantu. Dia murung lagi. Kembali berpikir. Kembali bertanya dalam diri: apakah benar saya mampu?

Tuhan ternyata mendengar keluh kesahnya. Selang beberapa bulan – saat itu menginjak pertengahan 2008 – ketika dia sedang beranjang ke Jogja, ia sempatkan diri untuk mampir ke tempat om Muh dan mbak Yung; begitu dia memanggil Muhidin M. Dahlan dan istrinya Nurul Hidayah. Pasutri yang sibuk bergiat di Indonesia Buku. Sudah lama dia tak bersilaturahmi ke sana. Mereka terlibat obrolan hangat yang cukup panjang. Hingga akhirnya menyerempet pada hal buku dan taman baca.

Dia pun lantas menyeletuk, “Om, kapan nih bikin taman baca di Jambu?”

Tak disangka celetukan ditanggapi serius. Ternyata mereka sudah punya program untuk membuat basis buku di Kediri. Sebuah taman baca masyarakat yang bernama Gelaran Buku Jambu Kediri. Buku-buku dari para pezakat buku pun sudah terkumpul. Tinggal disalurkan. Hanya saja pada saat itu untuk Kediri secara teknis akan digarap setelah Gelaran Buku Pakis Pacitan diresmikan.

Kami juga membahas panjang lebar seperti apa format Gelaran Jambu kelak. Harapannya memang tak sekadar taman baca yang menyediakan akses bacaan gratis untuk warga kampung. 

Karena bilamana keberadaannya hanya sebatas itu tentu tidak akan ‘hidup’. Butuh suatu yang beda. Sesuatu yang nyleneh bagi orang Jambu. Atau setidaknya kelak Gelaran Buku Jambu ini juga mampu sebagai wadah untuk berproses kreatif para anggotanya sehingga keberadaannya dilirik oleh warga Jambu sendiri.

Dan sesuatu yang nyleneh itu: anak Jambu menulis buku!

Dia diam. Tercekat. Menulis buku? Dia waktu itu hanya membatin. Kesambet lelembut mana om Muh ini. Anak Jambu disuruh menulis buku? Dia masih mencoba menafsir ide nyleneh itu sambil terus membatin heran. Bagaimana mungkin anak Jambu yang jarang mendaras buku itu disuruh menulis buku? Lantas buku seperti apa yang akan mereka tulis?

Lha wong dia sendiri saja belum bisa menerbitkan buku. Bagaimana bisa dia mengajarkannya? Terlebih kenal dengan mereka saja belum karib. Bagaimana bisa pula dia  mengkondisikan mereka untuk mau menulis? 

Jadi begitulah hingga kemudian konsep, tempat, sampai hal yang teknis kami bicarakan saat itu. Perlahan saya mulai mafhum bagaimana mewujudkan gagasan mendirikan taman baca di Jambu. Kemurungan dia terjawab. Kini dia tidak lagi bekerja sendiri. Pertemuan itu sungguh memberi dia pencerahan. Buah dari silaturahim. Rasa optimis dia kembali bangkit. Sepenuh hati dia meyakini pasti bisa. Kuncinya hanya satu: aksi!

Dok,tbm.jambu
Dok,tbm.jambu

Awal Menulis, Menerbitkan dan Berkarya.

Seperti telah dia utarakan, bahwa ide nylenehom Muh tentang anak Jambu menulis buku. Sejujurnya saat itu dia merasa sangsi. Apakah bisa mereka diajak untuk menulis? Lantas apa pula yang akan mereka tulis? Belum lagi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mencetaknya? Pikiran dia dijajah oleh angan-angan yang pesimis. 

Yang dia pikirkan juga saat itu, ketika sebuah buku dicetak dan diterbitkan, tentu juga harus melihat segmen pembaca dan pasar. Laku atau tidak? Dia berpikir seperti ini karena sempat bekerja di bagian distribusi dan pemasaran salah satu penerbit di Jogja. Hal ini yang membuat dia berpikir sedikit kapitalistis

.Akhirnya dia memutuskan untuk diam dan menyimak. Saat penjabaran ide itu dia sesapi, hal itu sungguh bertolak belakang dari asumsi-asumsi pesimisnya. Ternyata ide tersebut begitu sederhana: menulis catatan harian. Tepatnya kumpulan catatan harian.

Memang bila ditilik dari sisi pasar jelas buku itu tidak laku untuk dijual. Karena memang tujuannya bukan untuk dijual. Tetapi lebih pada mengajak mereka untuk dekat dengan buku. Mencintai buku. Tak sekadar membaca namun juga menulis. Melatih mereka berproses kreatif. Memberi motivasi bahwa anak desa juga mampu menerbitkan buku. Meyakinkan mereka bahwa semua orang berhak cerdas. Semua orang berhak baca. Semua orang berhak
menulis.

Dia pun akhirnya memahami esensi ide nyleneh tersebut. Pun kenapa agar hal tersebut harus terus dilakukan. Adalah perlu mengajak mereka untuk menulis. Tak perlu berpikir apakah buku tersebut laku atau tidak. Karena yang terpenting Gelaran Jambu setidaknya juga mempunyai koleksi buku yang ditulis oleh orang-orang Jambu sendiri. Sebagai arsip.

Obrolan mereka lantas berujung pada format cacatan yang akan mereka kerjakan. Temanya sederhana. Tentang ibu. Tepatnya pengamatan selama satu minggu terhadap aktivitas ibu mereka mulai bangun tidur hingga kembali beristirahat menjelang malam.

Saat itu kurang lebih dua bulan dia mendampingi mereka menulis. Kadang ada kalanya perlu memberi sedikit intimidasi untuk menumbuhkan kepercayaan diri. Karena inilah yang menjadi masalah utama bagi mereka. Ketidakmampuan mereka menulis bukan karena mereka tidak bisa. Namun lebih dikarenakan ketidakpercayaan diri akan kemampuan yang mereka miliki.

Mereka yang terlibat proses penulisan buku ini kebanyakan adalah murid-muridnya kelas IX di MTs Miftahul Huda Jambu. Menjadi keuntungan tersendiri bisa mengajar dan melibatkan mereka di Gelaran Jambu. Selain lokasi yang begitu dekat dengan madrasah, ketika bosan mengajar di kelas dia selalu membawa mereka ke taman baca ini. 

Dan yang paling utama sosialisasi keberadaan dan dinamika Gelaran Jambu menjadi sangat mudah. Dari 40 murid kelas IX yang ada hanya 28 anak saja yang mau ikut menulis. Itu pun dia harus terus-menerus mendampingi mereka. Artinya setiap saat mereka mengalami kesulitan dan ingin sharing dia harus ada. Jangan sampai mereka mutung. Hingga akhirnya dari tema
sederhana tersebut lahirlah buku pertama 

Aku dan Ibuku: Catatan Bakti Sepekan Anak-anak Jambu Kediri.

Buku itu selesai cetak di bulan Agustus 2009. 

Demikian dia menuturkan lahirnya informasi, anak-anak desa Jambu bisa buat buku. Kerenkan ?

Dok.tbm jambu
Dok.tbm jambu

Bendo, 30 Maret 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun