Kita sedang hidup di era paling ironis dalam sejarah umat manusia. Informasi melimpah, akses terbuka, teknologi merajalela. Namun justru di tengah banjir data ini, kebenaran semakin kabur. Bukan karena kebenaran menghilang, melainkan karena tertimbun sampah digital bernama misinformasi dan disinformasi.
Misinformasi adalah kebohongan yang lahir dari ketidaktahuan, sedangkan disinformasi adalah kebohongan yang diproduksi dengan sengaja, dipoles, lalu disebar dengan agenda tersembunyi. Keduanya ibarat kabut tebal yang membuat orang tersesat di jalan pikiran. Bedanya, misinformasi seperti pengendara awam yang salah arah, sementara disinformasi seperti bandit jalanan yang sengaja menutup rambu lalu lintas agar semua orang terjebak.
Dampaknya? Menghancurkan. Lihat bagaimana hoaks kesehatan bisa membuat orang menolak vaksin, hingga nyawa melayang sia-sia. Lihat bagaimana kabar palsu politik bisa meracuni ruang demokrasi, menyalakan api kebencian, bahkan menimbulkan kekerasan. Lihat pula bagaimana disinformasi ekonomi mampu mengguncang kepercayaan publik pada sistem keuangan, memicu kepanikan massal, dan meninggalkan jejak kerugian yang tak terhitung.
Lebih parah lagi, misinformasi dan disinformasi merusak fondasi paling berharga: kepercayaan. Sekali publik kehilangan kepercayaan pada media, sains, atau institusi, maka yang tersisa hanyalah ruang kosong penuh kecurigaan. Dari sana lahirlah masyarakat yang saling menuduh, saling mencurigai, dan saling menyerang. Kita menjadi bangsa yang gaduh, bukan karena fakta yang berbeda, tapi karena kita tak lagi tahu mana fakta dan mana ilusi.
Yang menakutkan, kebohongan kini diperlakukan seperti komoditas. Ada industri yang hidup dari klik palsu, algoritma yang memberi makan kebencian, bahkan aktor politik yang sengaja menjadikan dusta sebagai strategi. Kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari, melainkan sesuatu yang dinegosiasikan sesuai kepentingan. Di sinilah letak keburaman zaman: bukan lagi tentang apa yang benar, melainkan tentang siapa yang lebih keras berteriak.
Jika dibiarkan, kita akan menuju dunia di mana logika kalah oleh sensasi, bukti kalah oleh opini, dan realitas kalah oleh persepsi yang dikendalikan. Inilah bahaya paling laten: kehancuran akal sehat massal. Dan sekali akal sehat runtuh, tak ada teknologi, tak ada demokrasi, bahkan tak ada kemanusiaan yang bisa bertahan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu melawan misinformasi dan disinformasi. Pertanyaannya: berani atau tidak kita membela kebenaran meski tak populer? Sebab di zaman keburaman kebenaran, keberanian untuk jujur adalah bentuk perlawanan paling radikal.
Dan untuk itu, mari kita mulai dari diri sendiri: jujur dalam menyajikan informasi, bijak dalam membaca informasi. Jangan telan mentah-mentah setiap kabar, tapi cerna, teliti, dan cermati dengan hati nurani, pikiran, logika, dan akal budi. Sebab hanya dengan disiplin akal sehat, kebenaran bisa tetap hidup di tengah gelombang kebohongan yang terus menggempur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI