Mohon tunggu...
Wahyuddin Junus
Wahyuddin Junus Mohon Tunggu...

saya menulis untuk tidak menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan, Mengapa Wanita Begitu Mudah Menangis?

18 Desember 2013   23:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:46 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seorang anak laki-laki kecil bertanya kepada ibunya

“Mengapa ibu menangis?”

“Karena aku seorang wanita”, kata sang ibu kepadanya.

Bersama semilir angin sore, anak itu dipenuhi pikiran yang terus menanjak.

“Aku tidak mengerti”, kata anak itu.

Ibunya hanya memeluknya dan berkata, “Dan kau tak akan pernah mengerti”.

Anak itu menemui sajian baru perkembangan psikososialnya. Lebih tepatnya berimajinasi atas lukisan langka itu. Ia tak berani memaksa senja berganti, hanya untuk membayar rasa ingin tahunya.

Kemudian anak laki-laki itu bertanya kepada ayahnya,

“Mengapa ibu suka menangis tanpa alasan?”

“Semua wanita menangis, tanpa alasan”, hanya itu yang dapat dikatakan oleh ayahnya.

Meski pijakan perasaannya belum menyempurna, anak itu tak pernah melupakan tangisan ibunya. Anak laki-laki kecil itu pun lalu tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa, namun tetap ingin tahu mengapa wanita menangis. Akhirnya ia menghubungi Tuhan, dan ia bertanya,

“Tuhan, mengapa wanita begitu mudah menangis?”

Tuhan berkata: “Ketika Aku menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. Aku membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia, namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan.”

“Aku memberikannya kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dan menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya.”

“Aku memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang-orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh ”

“Dan akhirnya, Aku memberinya air mata untuk diteteskan. Ini adalah khusus miliknya untuk digunakan kapan pun ia butuhkan.”

Termasuk menangisi wanita yang dipersangkakan KPK.

***

Di penghujung tahun, kita masih saja disuguhi lembaran panjang berita korupsi bersama hujan yang mulai mendera musimnya. Hujan akan selalu menjejali jalan keseimbangannya, tatkala jiwa manusia mulai membatu. Seperti hujan tadi siang, yang datang diam-diam, pergipun diam-diam, malu pada matahari, rapuh pada mata hati.
Karena manusialah, air hujan harus bersemangat menyirami nurani yang mulai kering kerontang. Berjuang menapaki jalan-jalan moral yang berbatu. Tak ada celah untuknya menerobos pori-pori politik alas kepentingan. Tak ada tempat untuknya ‘transit’ dalam lebatnya pencitraan atas nama rakyat. Slogan yang ringan, yang tak seringan tiupan angin bersama hujan.

Jika hujan hadir atas alasan keseimbangan bumi, maka tangisan wanita tak perlu alasan. Karena tangisan wanita adalah simbol kemanusiaan karena kita belum mampu menyadari adanya perjuangan tanpa akhir antara pembawaan kebaikan dan godaan kejahatan yang datang di dunia iblis. Oleh Nurcholish Madjid dunia iblis disebut sebagai diabolos.

Setiap manusia menurut Cak Nur, harus menghidupkan kembali dalam dirinya “drama kosmos” yang dialami Adam di alam primordial. Mengingatkan manusia pada potensinya untuk jatuh tidak terhormat karena melanggar batas kebebasan yang diberikan Tuhan.

Tak perlu menjejali renungan akhir tahun nanti dengan air mata. Kalau pun tangisan itu berulang, ini hanyanya semacam napak tilas, karena kita hadir ke dunia ini dengan membawa tangisan. Dan disaksikan oleh ibu kita. Itulah awal sejarah di mana cinta seorang ibu (baca: wanita) pernah dibutakan oleh dunia. Sejarah itu bermetaformosis di kekinian di gedung KPK.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun