Merangkak seorang pejuang.
Jauh nan dari kampung halaman.
Ia duduk dengan singgah tanpa lelah.
Menunduk ngantuk, berbaring lemah.
Duduk dalam singgasana rumah.
Berbaring dalam pelukan nostalgia.
Jam diding terus berdetak tanpa bunyi.
Terasa sepi yang berkata-kata diam dalam meratapi.
Beralih bangun dalam istirahat sementara.
Kobaran hujan jatuh dengan derasnya.
Berbalik kiri, ramai penduduk berdatangan.
Kehadiranya mereka, Entah apa yang mengundang.
Berdiri dekat jendela dengan tatapan bahagia.
Sengaja kubuka agar cahaya bisa masuk sepuasnya.
Penduduk datang lebih banyak lagi ke singgasana.
Tak kupeduli. Tetap kutatap hujan jatuh yang sudah mulai mereda.
Berbalik arah lagi.
Oh.. ternyata rumahku dibanjiri.
Bukan dari air hujan yang berjatuhan.
Tapi penduduk yang datang dengan penuh tangisan.
Aku curiga, meratap kesedihan itu.
Melihat berbagai arah dengan kebingungan selalu.
Kutatap baju hitam mereka yang sama.
Aku semakin curiga tanpa kira.
Mereka berkumpul di ruang tamu.
Kesedihan semakin terlihat dalam satu tatapan.
Aku mendekat ke arah kesedihan itu.
Ternyata kesedihan itu telah di kaffani, dan itu adalah aku.
Terkejut, tertatih dan menangisinya aku tanpa henti.
Kuteriak tanpa terdengar.
Menangis tanpa meneteskan air mata kesedihan.
Ternyata kepulanganku tidak kurencanakan, datang dengan tidak berkesan.
Kesadaran ini, ternyata hanyalah jiwa.
Terpisah dari tubuh yang selalu berbuat dosa.
Entah aku berbaring sebelumnya untuk apa.
Entah malaikat datang dari sudut mana.
Namun, kepulangan ini adalah kesedihan yang abadi.