Ketika mengajukan keberatan kepada Dinas Pendidikan, Lia mendapat penjelasan yang menurutnya tidak konsisten.
"Awalnya mereka bilang sistem yang bekerja secara otomatis, tapi setelah saya tunjukkan bukti-bukti ini, bagian Dikdas malah bilang bahwa setiap sekolah dasar diberikan keleluasaan terkait penerimaan murid baru," jelasnya.
Pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas SPMB yang dilakukan secara online.
"Kalau sekolah diberi keleluasaan, untuk apa diberlakukan pendaftaran melalui aplikasi SPMB? Ini kan jadi tidak ada gunanya," kritiknya.
Kasus ini menguak potensi masalah sistemik dalam SPMB yang seharusnya menjamin transparansi dan keadilan.
Sistem zonasi yang diterapkan seharusnya memberikan prioritas kepada calon siswa berdasarkan kedekatan jarak tempat tinggal dan usia, namun temuan ini menunjukkan adanya celah yang bisa disalahgunakan.
Hingga saat ini, Kepala Dinas Pendidikan Kota Parepare, Makmur, belum memberikan klarifikasi resmi terkait kejanggalan data ini. Masyarakat ingin memastikan bahwa SPMB dapat berjalan sesuai dengan prinsip transparansi dan keadilan yang dijanjikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI