Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pembelajaran dari Kedai Laluna dan QRIS BRI, Menambah Pengalaman Hidup Saya

7 Maret 2025   07:51 Diperbarui: 7 Maret 2025   08:41 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di depan Kedai Laluna, kedai alam dari bambu, bersama salah satu pelanggan, Vocalis Grup GME. (Foto: dokumen Wahyu Sapta).

Kehidupan itu kadang tidak tertebak. Alur jalannya, bisa jadi berbeda dari kebiasaan yang dilakukan. Semua demi mencapai cita-cita. Sedangkan kita manusia memiliki banyak keinginan. Saat meminta keinginan terpenuhi, belum bisa terwujud. Saat tidak diminta, justru ada kesempatan untuk meraihnya. Itulah hidup menurut saya.

Katanya, turun naik kehidupan, seperti roda yang berputar. Bisa menjadi pembelajaran dan pengalaman hidup tak ternilai, yang tak ada sekolah. Iya, kan? Belajar tidak harus dari buku atau sekolah, melainkan dari kehidupan yang dijalani, juga merupakan guru alam. Jika kita sukses dan mampu menyerapnya, maka bisa menjadi manusia yang lebih pintar, tegar, dan kuat.

Dari hobi saya memasak, tiba-tiba mendapatkan jalan: memiliki kedai. Memang keinginan itu sudah lama ada, tetapi belum terlaksana. Ketika semangat menggebu-gebu, eh, sarananya belum ada. Ketika sarana ada, semangat menurun karena ada keraguan, bisa nggak ya. Rasa itu bergantian, bahkan kadang-kadang melupakan keinginan itu.

Ketika tiba-tiba harus mengurus kedai dan harus melayani pembeli, benar-benar memiliki pengalaman nol. Awalnya memang tidak sempurna. Lama-lama menjadi sedikit ahli. Terpaksa berpikir bagaimana bisa menghidupkan kedai agar bisa berkembang dan mampu berinovasi. Memacu adrenalin saya memenuhi tantangan.

Dari pengalaman yang terjadi, menjadi tahu, oh, harus begini, harus begitu. Lebih mengenal karakter pembeli yang berlainan juga menguji kesabaran. Belum lagi bagaimana cara memasak yang praktis, efektif, dan cepat, karena tiap hari harus menyediakan menu makanan untuk disajikan ke pembeli.

Dari yang biasanya memasak sedikit karena hanya untuk keluarga satu rumah paling banter empat orang, eh, harus memasak untuk banyak orang. Melebihi dari yang dibayangkan. Hal itu membuat saya berpikir lebih banyak. Hahaha, benar-benar menguras energi.

Apalagi ketika tiba-tiba mendapat pesanan banyak untuk sebuah acara, saya terbengong sebentar untuk menata pikiran bagaimana yang harus dilakukan. Menurut saya itu amazing, di luar yang saya perkirakan sebelumnya. Biasa memasak sedikit, menjadi memasak banyak. Sangat berbeda. 

Mendapat pesanan banyak pertama kali, it's amazing. Harus belajar, berpikir bagaimana agar lancar dan sukses sesuai pesanan. (Foto: dok. Wahyu Sapta)
Mendapat pesanan banyak pertama kali, it's amazing. Harus belajar, berpikir bagaimana agar lancar dan sukses sesuai pesanan. (Foto: dok. Wahyu Sapta)

Harus bisa menghitung perkiraan bahan dan bumbu yang dipakai, bagaimana cara menyajikannya, bagaimana mengatur waktu agar bisa selesai tepat sesuai jam pemesanan. Saya banyak belajar dari pengalaman ini. Memang benar jika ada yang bilang, pengalaman merupakan hal yang berharga, karena tidak setiap orang bisa mengalaminya. 

Ketika saya memiliki pegawai yang membantu pekerjaan, dia lebih banyak pengalaman daripada saya. Pernah bekerja di warung dan bisa memasak. So, saya bisa menimba ilmu dari dia. Hahaha, terkadang saya merasa bodoh di hadapannya karena kalah pengalaman. Seperti murid dan guru. Tapi, bukankah belajar itu tidak boleh gengsi dan malu? Karena itu bisa menjadi salah satu jalan ninja menuju sukses. 

Wisata Alam Pinusia Park Ungaran Timur saat sedang ramai, mendengarkan musik dari panggung sambil bersantai. Foto: Wahyu Sapta.
Wisata Alam Pinusia Park Ungaran Timur saat sedang ramai, mendengarkan musik dari panggung sambil bersantai. Foto: Wahyu Sapta.

Dari kedai itu, saya banyak belajar. Kedai kecil di sebuah Wisata Alam, saya namakan Kedai Laluna, merupakan gabungan nama anak saya. Selain indah, nama Laluna juga memiliki arti Rembulan di antara Bintang-bintang. So sweet, kan? Saya ingin kedai saya mampu seperti Rembulan yang bersinar indah di antara bintang-bintang. Aamiin. 

Dukungan saudara dan teman menambah semangat. (Foto: Dokumen Wahyu Sapta).
Dukungan saudara dan teman menambah semangat. (Foto: Dokumen Wahyu Sapta).

Banyak dukungan dari saudara, teman, yang berkunjung menambah semangat.

Suasana alam saat sore hari di Pinusia Park. Ada beberapa kedai dan Cafe di sana. Nyaman untuk bersantai. (Foto: Wahyu Sapta)
Suasana alam saat sore hari di Pinusia Park. Ada beberapa kedai dan Cafe di sana. Nyaman untuk bersantai. (Foto: Wahyu Sapta)

Dukungan dari teman menambah semangat. With Mas Susy dan Mbak Nita. (Foto: Dokumen Wahyu Sapta).
Dukungan dari teman menambah semangat. With Mas Susy dan Mbak Nita. (Foto: Dokumen Wahyu Sapta).

Seiring berjalannya waktu, memiliki kedai di era sekarang, butuh juga inovasi mengikuti zamannya. Zaman dimana cashless berlaku. Era pembayaran non tunai sering menjadi kendala. Kalau tidak memiliki sarana itu, bisa ketinggalan zaman. Terkadang pembeli batal jajan karena tidak membawa uang tunai dan hanya bisa non tunai.

Ketika saya memutuskan untuk memakai QRIS sebagai sarana pembayaran, juga merupakan salah satu cara untuk menarik pembeli. Memang tidak semua pembeli membayar non tunai, masih banyak juga yang membayar tunai. Tetapi generasi sekarang lebih banyak yang suka memakai cashless. Katanya lebih praktis. 

Saya jadi senyum sendiri, ketika ada pembeli bertanya, bayarnya bisa pakai QRIS? Padahal saat itu saya belum menggunakannya. 

"Aduh, saya beneran tidak bawa cash," katanya. Akhirnya batal membeli. Hahaha... Begitu amat ya zaman sekarang, batin saya. Dari pengalaman itu, mau tidak mau, saya harus menggunakan QRIS sebagai alat bantu pembayaran. 

Kebetulan, di tempat saya membuka kadai, Wisata Alam Pinusia Park di Ungaran Timur, ada beberapa kedai lainnya sudah memakai QRIS. 

Saya bertemu Mas Nico, pegawai Bank BRI Ungaran, yang biasa mengurusnya. Tidak harus ke kantor cabang, melainkan ia yang menjemput di lapangan. Ia yang akan mengurus.

Awalnya membuat nomer rekening baru, kemudian kita mendaftar untuk memakai QRIS. Pelaksanaannya di tempat kedai, bukan ke kantor bank. Baiklah, it's so easy, batin saya.

Tetapi, it's so easy itu membuat saya terlena dan menggampangkan urusan. Saya tipenya gampang percaya. 

Pembayaran QRIS berjalan, setelah kode QR bisa dipakai. Setiap pembeli bisa membayar memakai ponselnya. Tik! Uang masuk ke aplikasi QRIS. Beberapa waktu berlalu, ketika di aplikasi BRImerchant khusus untuk mengecek uang masuk berjalan lancar. Lumayan banyak, saya bisa tersenyum manis. Alhamdulillah, tabungannya bertambah, dong. 

Kepikiran juga, bagiamana ya cara klaimnya? Deg! Waduh, baru menyadari bahwa dana itu biasanya langsung masuk ke nomer rekening. Padahal saya belum mengunduh aplikasinya, jadi belum tahu, apakah uang itu otomatis masuk atau tidak.

Itulah, saya sangat ceroboh. Kemudian saya menghubungi Mas Nico, bertanya apa yang harus saya lakukan untuk bisa mengetahui dana yang yang saya miliki hasil dari penjualan kedai. 

"Oh, coba ibu ke kantor cabang untuk menanyakannya, kebetulan saya masih di luar," katanya.

Baik, saya ke kantor cabang. Nah, ini. Dari sini baru ketahuan, ternyata nomer rekening saya untuk menampung dana masuk, terblokir otomatis karena sistem. Lah, saya tidak tahu, kalau awal membuka rekening harus diisi saldo batas waktu tertentu, agar tidak terblokir otomatis. Langsung lemas. Saya sempat down sebentar, berhenti sejenak, agar tidak panik.

Dana hasil penjualan selama ini tidak diketahui juntrungnya. Apalagi santernya berita banyak penipuan melalui QRIS, membuat saya sedikit takut. Memang uangnya tidak seberapa, tapi ini uang hasil penjualan kedai baru milik saya yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Banyak momen seru di sana. 

Saya menelpon Mas Nico untuk membantu mengurusnya. Ia langsung sigap, siap membantu. "Nggak papa, bu, nanti saya uruskan ke kantor pusat. Nanti QR nya jangan dipakai dulu sementara menunggu hasilnya. " katanya.

Sedikit lega dan mengurangi panik, berharap cemas menunggu hasilnya. Hari gini, gitu loh. Dimana aksi tipu-tipu marak banget. Meski saya percaya pada Mas Nico, tapi tetap saja ada cemasnya. Bisa nggak ya, dananya diambil kembali.

Sambil tetap menjalankan kedai tanpa memakai QRIS, hanya memakai tunai cara membayarnya. Lumayan menjadi kendala, meski tak banyak. Membuat saya sempat tidak bersemangat. Pengalaman ini menjadi pembelajaran, agar tidak menggampangkan sesuatu. Harus lebih teliti, agar tidak salah.

Saya dianjurkan untuk membuka nomer rekening baru, karena nomer yang lama terblokir. Nomer ini nantinya untuk menggantikan nomer lama. Saya juga dianjurkan download aplikasi Brimo untuk bisa bertransaksi dengan mudah hanya dengan menggunakan ponsel. Juga untuk mengecek masuk dan keluarnya dana di tabungan. Baiklah.

Setelah beberapa hari, aplikasi Brimo nomer rekening baru berdenting berurutan berkali-kali. Alhamdulillah, uang saya sudah bisa beralih ke nomer rekening yang baru secara beruntun. Jumlahnya tidak berkurang. Rasa cemas menghilang, berganti dengan senyuman manis.

Saya menghubungi Mas Nico untuk mengucapkan terimakasih. Baik sekali Mas Nico ini. Bahkan saya mendapatkan doa dari Mas Nico, agar usahanya semakin maju. 

Pelajaran yang saya peroleh, menjadikan pengalaman yang berharga. Jika tidak demikian, mana bisa saya menjadi tahu tentang seluk beluk menggunakan aplikasi QRIS BRI? Ini adalah pengalaman yang pertama. Selanjutnya, penggunaannya lancar dan tidak membuat saya cemas karena sudah clear. Alhamdulillah tidak bermasalah hingga hari ini. Senang sekali melihat angka-angka yang bertambah.

Capek? Iya. Tapi demi melihat cuan yang bertambah, hati menjadi senang. Pengalaman hidup juga bertambah. Naik turun sudah biasa. Dijalani saja. Melihat karakter orang yang beragam juga sudah biasa. Saya menjadi lebih pintar karena belajar dari pengalaman hidup. 

Ada banyak hal yang tidak mampu saya ceritakan satu persatu. Hahaha... lebay ya? Intinya sih membuat hidup saya lebih berwarna, lebih mampu bersyukur, lebih empati, lebih banyak berterimakasih pada orang lain yang tidak hanya satu orang melainkan banyak orang. Bla bla bla... dan masih banyak lagi. Alhamdulillah.

Semarang, 7 Maret 2025.

Wahyu Sapta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun