Ia memiliki warung sudah sejak lama. Kurang lebih 57 tahun yang lalu. Dari sejak milik ibunya, hingga sekarang generasi ketiga. Yaitu anaknya, Mbak Sri, yang biasa berjaga malam hari, bergantian dengan Bu Titik yang berjaga sore hari.Â
Pesanan pun jadi. Memasaknya satu persatu. Meskipun memasaknya satu persatu, tetapi prosesnya cepat. Bahan sudah siap, hanya tinggal cemplung. Juga penggorengan yang setiap kali memasak berganti. Jadi, ada beberapa penggorengan tersedia yang mempercepat prosesnya.Â
Bakmi godhog yang jadi duluan. Karena makanan berkuah, sangat panas, sehingga dimasak giliran pertama. Lalu kemudian baru capjay gorengnya.Â
Sedap sekali baunya. Aroma arang yang khas. Memasak bakmi anglo memakai kompor dari tanah liat yang bernama anglo. Sedang bahan bakarnya adalah bara arang. Harus dikipas, agar bara tetap menyala. Juga sesekali arang ditambah jangan sampai habis menjadi abu. Mengipasnya memakai kipas angin biar cepat dan tak padam.Â
Saat agak hangat, sesendok demi sesendok bakmi berpindah tempat. Hem, rasanya gurih asin. Sedap. Dengan cabai rawit hijau yang diiris. Mantap pedas. Badan menjadi hangat, bahkan berkeringat! Sesuai selera.Â
Ayam berpadu dalam bakmi adalah ayam kampung. Tentunya lebih gurih dan khas. Sedang sayurnya hanya kol, sawi hijau, dan tomat. Kuahnya yang berlimpah ruah, sungguh! Sajian ini segar sekali disantap saat hujan dan dingin. Pas, mantap!Â
Pesanan capjay goreng milik teman saya juga sudah jadi. Saya meliriknya. Ihiks, ada petainya. Hum, segarnya. Saya kemudian berkata, ikut nyicip, ya. Ia mengangguk. Ia memang selalu baik hati.Â
Saya mengambil sepucuk sendok capjay. Hanya ingin tahu rasanya. Manis gurih. Petainya masih kriuk saat dikunyah. Saya memang tidak suka petai, tetapi doyan. Hahaha... Hanya sesekali. Tidak banyak.Â