Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi mahasiswa terbesar dan tertua di Indonesia yang lahir pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta dan didirikan oleh Ayahanda Prof. Drs. H. Lafran Pane dan kawan-kawan dalam sejarahnya telah mengalami pertentangan dan perpecahan baik secara ideologis maupun pertentangan secara politis organisasi.
Dalam catatan sejarah perjalanan HMI, perpecahan yang sungguh menyisakan suatu dialog yang mengetengahkan pertentangan antara Islam dan Pancasila itu tetap menyisakan bayak hal yang harus terus menjadi kajian secara mendalam dan tidak kunjung terjadinya penyatuan atau rekonsiliasi antara apa yang dikenal dengan HMI Dipo dan HMI MPO.
Lantas mengapa terjadi perpecahan HMI yang tiada henti, apakah selain persoalan yang bersifat ideologis ada faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya perpecahan di internal HMI, khususnya HMI Dipo?
Dapatkan kita memberikan suatu analisis dan kajian yang lebih mendalam tentang melemahnya gerakan kultural HMI yang membuat HMI mengalami perpecahan dari periode ke periode?
Perpecahan di HMI
Pasca diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 Tentang Asas Tunggal Pancasila oleh Pemerintahan Presiden Soeharto, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengalami perpecahan di tubuh internal organisasinya.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dikemukakan atas perpecahan yang melanda internal organisasi HMI pada waktu itu. Pertama, perpecahan itu dianggap sebagai suatu akibat dari pertentangan yang bersifat ideologis antara pihak yang ingin tetap mempertahankan Islam sebagai asas organisasi sehingga muncul adanya Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) dan pihak yang ingin merubah asas organisasi menjadi Pancasila, tetap dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dikenal dengan HMI Dipo, lantaran kantor sekretariatnya berada di Jalan Diponegoro 16A Menteng Jakarta Pusat.
Kedua, perpecahan itu dianggap oleh beberapa pihak di internal HMI sebagai akibat adanya mekanisme dan aturan konstitusi organisasi yang dilanggar. Dimulai dengan Kongres HMI Ke XV pada akhir Mei 1983 di Medan. Kongres ini dinamakan kongres perjuangan, karena diselenggarakan dalam tekanan yang kuat dari pemerintah untuk merubah asas. HMI secara tegas menolak menggunakan asas tunggal Pancasila dalam AD/ART-nya dan masih setia mempertahankan asas Islam.
Namun, dalam perjalanan selanjutnya, saat sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI, di Ciloto-Puncak-Bogor, PB HMI bersedia mengubah asas Islam dengan asas Pancasila. Diterimanya asas Pancasila melalui Rapat Pleno PB HMI dianggap menyalahi mekanisme dan konstitusi HMI, dimana perubahan AD/ART hanya boleh dilakukan melalui Kongres HMI.
Ketiga, Situasi Kongres HMI Ke XVI di Padang yang semakin mempertajam pertentangan antara pihak yang menentang asas Pancasila dan yang ingin tetap setia dengan asas Islam semakin meruncing dimana sebelum diselenggarakannya Kongres HMI Ke XVI di Padang, HMI Cabang yang menolak diberlakukannya asa Pancasila membentuk forum yang bernama Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Dialog MPO dengan PB HMI dan MPK (Majelsi Pekerja Kongres) mengenai perubahan asas dalam kongres mengalami kebuntuan. Dengan diwarnai kekacauan karena adanya dua kubu yang saling bertentangan, maka kongres XVI di Padang menjadi tonggak sejarah bagi pecahnya HMI menjadi dua bagian, HMI Dipo dan HMI MPO.
HMI Dipo atau HMI saja yang berkantor di Jalan Diponegoro 16A Jakarta Pusat pasca reformasi 1998 dan ditetapkannya kembali Islam sebagai asas organisasi pada Kongres HMI Ke XXII di Jambi, 3 Desember 1999 justru mengalami perpecahan yang berkepanjangan pasca Kongres Ke XXIII di Balikpapan, 30 April 2002, lalu terjadi rekonsiliasi dengan diadakannya Kongres HMI Ke XXIV Bersama di Jakarta 23 Oktober 2003. Kemudian terjadi perpecahan kembali dan diadakan rekonsiliasi pada Kongres Ke XXV Bersama di Makassar, 20 Februari 2006. Periode PB HMI 2006-2008, HMI tetap menyatu sampai dengan Kongres HMI Ke XXVI di Palembang, 28 Juli 2008 dan Kongres HMI Ke XXVI di Depok, 5-10 November 2010. Tetapi Pasca Kongres HMI Ke XXVII di Depok Tahun 2010, HMI kembali mengalami perpecahan dan dilakukan rekonsiliasi dan Kongres HMI Ke XXVIII Bersama di Jakarta, 15 Maret – 15 April 2013.
Bila PB HMI 2013-2015 dibawah Pimpinan Arief Rosyid Hasan telah dilantik dan pada 5 Februari 2014 ini terjadi lagi pelantikan PB HMI yang akan dilaksanakan di Jakarta dibawah pimpinan Adi Baiquni, pasca Kongres HMI di Malang, maka HMI kembali diwarnai oleh perpecahan.
Melemahnya Gerakan Kultural HMI
Dominannya “gerakan politik HMI” dari pada “gerakan kultural HMI” bisa dianggap sebagai salah satu penyebab munculnya perpecahan di HMI. Dimana “gerakan politik HMI” dimaksudkan sebagai suatu aktifitas aktivis HMI yang memfokuskan pada persoalan kekuasaan negara, kebijakan dan kelembagaannya. Sementara “gerakan kultural HMI” dimaksukan sebagai aktifitas aktivis HMI yang berkaitan dengan berbagai kepentingan masyarakat, kecuali tentang kekuasaan negara, kebijakan dan kelembagaannya.
Gerakan kultural HMI yang berpijak dari nilai-nilai ke-islaman, ke-indonesiaan dan ke-ilmuan melalui dialog dan kelompok-kelompok diskusi yang terus mengasah ketajaman intelektual mulai meredup, gerakan ini lebih bersifat individual aktivis di luar sistem dan mekanisme organisasi, sehingga orientasi HMI lebih menonjol pada soal-soal yang bersifat “gerakan politik HMI”.
Belakangan, terasa juga tentang minimnya ruang-ruang bagai pengembangan yang melatih profesionalisme aktivis dan kader HMI pada wilayah keilmuan dan minatnya. Misalnya kelembagaan yang bersifat pengembangan profesi keilmuan, mulai kekurangan girohnya.
Kenyataan demikian, menyebabkan aktifitas dari aktivis dan kader HMI terkonsentrasi pada soal-soal perebutan kepemimpinan di organisasi untuk perebutan posisi Ketua Umum Komisariat, Ketua Umum Cabang, Ketua Umum Badko dan Ketua Umum PB. Ruang-ruang sempit itu penuh sesak dengan kompetisi yang lebih bernuansa politis, karena lebih dominannya “gerakan politik HMI” ketimbang “gerakan kultural HMI”.
Peluang bagi HMI untuk terus menerus mengalami perpecahan bisa jadi lantaran persaingan yang sangat tajam, kompetitif dan sangat bernuansa politis dengan ruang-ruang kreatifitas yang tidak dibuka lebar misalnya dengan memperluas “gerakan kultural HMI” yang kembali menjadi anak kandung ummat melalui aktifitas para aktivis dan kadernya kembali di tengah-tengah umat dengan kegiatan Student Work Camp (SWC) HMI, membuka lebar struktur organisasi kembali langsung pada basis ummat atau di tengah-tengah masyarakat dengan dibentuknya Rayon-Rayon HMI, dimana keberadaan HMI akan langsung berada di sekitar tempat tinggal dan mungkin asal daerah para aktivis dan kader HMI untuk berbuat nyata di tengah-tengah ummat.
Rekonsiliasi Untuk Kebangkitan HM
Kontribusi para aktivis, kader dan alumni HMI mendorong munculnya kembali giroh “gerakan kultural HMI” setidaknya untuk saat ini menjadi penting untuk didialogkan bagai terwujudnya suatu rekonsiliasi untuk kebangkitan HMI di masa depan. Melalui “gerakan kultural HMI” setidaknya akan menghasilkan kepemimpinan (leadership) di HMI yang memupuk tradisi penyelesaian masalah lewat kekuatan wacana (discursive handling of confliks), pelaziman penyelesaian masalah lewat urun rembuk (sharing), tawar-menawar (bargaining) dan kemenangan bersama (win-win solution), penguatan ketaatan pada aturan main, kerelaan menerima situasi menang dan kalah secara bersahaja dan kejujuran melakukan pertanggungjawaban publik, serta pengasahan ketajaman daya baca (egulfing the power of analysis) dan daya jawab terhadap situasi krisis (the power of responsivenness) yang berorientasi pada penyelesaian masalah (the problem solving oriented), bukan memperumit persoalan, disertai kebenaran gagasan dan kecakapan adaptif terhadap perkembangan yang terus berubah.Kita merindukan masa depan HMI yang benar-benar BERSATU, dalam makna terjadi rekonsiliasi yang lebih padu diantara HMI yang berpecah-pecah, tidak lagi terjadi perpecahan HMI di HMI Dipo dan terjadi rekonsiliasi dan penyatuan HMI Dipo dan HMI MPO. Apakah “gerakan kultural HMI” menjadi jawabannya? Kenapa tidak kembali bapa khitah perjuangan HMI yang sejatinya? Padahal tantangan HMI di masa depan lebih pada terwujudnya kerja-kerja nyata aktivis, kader dan alumninya pada HMI BERSATU (Harapan Masyarakat Indonesia Benahi Ekonomi Rakyat Sejahtera Adil Tertib Utuh). Selamat Milad Ke-67 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Yakin Usaha Sampai! (Wahyu Triono KS adalah Koordinator MPK PB HMI 2004-2006).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI