Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi anak kecil di Papua yang terbangun tengah malam karena suara tembakan. Bahwa tidak ada anak mana pun di negeri ini yang seharusnya hidup dalam ketakutan. Bagaimana rasanya menyaksikan keluarga dibawa paksa oleh aparat atau rumah dibakar, tapi saya tahu bahwa semua itu adalah pelanggaran atas kemanusiaan yang paling mendasar.
**sebuah jeritan yang terus diabaikan**. Jeritan dari mereka yang berulang kali diperlakukan tidak adil, direndahkan, dan diabaikan oleh sistem yang seharusnya melindungi.
> **"Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak."** --- William E. Gladstone
> Di Papua, keadilan bukan hanya tertunda. Ia seperti memilih untuk diam. Dan diamnya keadilan, bagi saya, adalah bentuk pengkhianatan paling halus terhadap kemanusiaan.
Sejak insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019, kekerasan dan diskriminasi semakin terstruktur. Ribuan orang turun ke jalan untuk menyuarakan hak mereka---bukan untuk memberontak, tapi untuk didengar. Namun yang mereka dapatkan bukan pelukan negara, melainkan gas air mata, peluru, dan label separatis.
**Menurut laporan Komnas HAM dan Amnesty International**, tercatat puluhan korban jiwa, ribuan orang mengungsi, dan akses internet di wilayah Papua diputus oleh pemerintah. Semua ini dilakukan atas nama "stabilitas", tapi kita tahu: **stabilitas yang dibangun di atas penderitaan bukanlah perdamaian, melainkan penindasan.**
> **"Jika kita membungkam suara mereka yang tertindas, maka kita sedang memelihara benih pemberontakan."** --- Anonim
> Diam bukan netral. Diam adalah keberpihakan---kepada kekuasaan, bukan kepada rakyat.
Saya membaca kembali Pasal 28I UUD 1945, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak tidak disiksa, dan hak menyampaikan pendapat adalah **hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun**. Tapi nyatanya, hak-hak ini terus dikurangi dan direpresi, seolah Papua bukan bagian dari Indonesia yang sah.
**Mereka bukan asing. Mereka adalah kita.**
Papua bukan tanah yang jauh, yang hanya kita ingat saat konflik meledak. Papua adalah bagian dari rumah yang kita sebut Indonesia. Dan saya percaya, kalau satu bagian rumah terbakar, kita semua ikut berasap.
Dari sisi **psikologis**, konflik dan kekerasan ini menyisakan trauma yang mendalam---khususnya bagi anak-anak dan perempuan. Hidup dalam pengungsian, menyaksikan kekerasan, dan kehilangan orang tercinta adalah luka yang tidak akan sembuh hanya dengan pembangunan jalan atau bandara.
Dari sisi **sosiologis**, jurang antara Papua dan pusat semakin lebar. Ketidakpercayaan tumbuh, bukan karena masyarakat Papua membenci Indonesia, tapi karena terlalu sering mereka merasa dikhianati oleh negara yang katanya menjamin "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
> **"Negara yang kuat bukan yang menekan perbedaan, tetapi yang mampu merangkulnya."**
> Maka, jika kita ingin Indonesia tetap utuh, kita harus mulai dengan mendengar tangisan dari timur.
Bagi saya, penyelesaian Papua harus dimulai dari **pengakuan kesalahan**, bukan penyangkalan. Harus dimulai dari **pendekatan dialog**, bukan peluru. Harus ada kehadiran negara yang adil, yang mau mengulurkan tangan, bukan menggenggam senjata.
Sebagai generasi muda, saya percaya bahwa suara kita bisa jadi perpanjangan dari mereka yang dibungkam. Saya tidak punya kuasa untuk menghentikan konflik, tapi saya bisa memilih untuk tidak diam. Saya bisa memilih untuk berdiri di sisi yang benar---di sisi yang membela kemanusiaan.
> **"Tangisan tidak perlu diteriakkan untuk didengar. Tapi kita harus berhenti menjadi bangsa yang menutup telinga."**
Papua menangis. Dan selama keadilan masih memilih diam, kita semua sedang ikut menyakiti bangsa ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI