Dari sisi **psikologis**, konflik dan kekerasan ini menyisakan trauma yang mendalam---khususnya bagi anak-anak dan perempuan. Hidup dalam pengungsian, menyaksikan kekerasan, dan kehilangan orang tercinta adalah luka yang tidak akan sembuh hanya dengan pembangunan jalan atau bandara.
Dari sisi **sosiologis**, jurang antara Papua dan pusat semakin lebar. Ketidakpercayaan tumbuh, bukan karena masyarakat Papua membenci Indonesia, tapi karena terlalu sering mereka merasa dikhianati oleh negara yang katanya menjamin "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
> **"Negara yang kuat bukan yang menekan perbedaan, tetapi yang mampu merangkulnya."**
> Maka, jika kita ingin Indonesia tetap utuh, kita harus mulai dengan mendengar tangisan dari timur.
Bagi saya, penyelesaian Papua harus dimulai dari **pengakuan kesalahan**, bukan penyangkalan. Harus dimulai dari **pendekatan dialog**, bukan peluru. Harus ada kehadiran negara yang adil, yang mau mengulurkan tangan, bukan menggenggam senjata.
Sebagai generasi muda, saya percaya bahwa suara kita bisa jadi perpanjangan dari mereka yang dibungkam. Saya tidak punya kuasa untuk menghentikan konflik, tapi saya bisa memilih untuk tidak diam. Saya bisa memilih untuk berdiri di sisi yang benar---di sisi yang membela kemanusiaan.
> **"Tangisan tidak perlu diteriakkan untuk didengar. Tapi kita harus berhenti menjadi bangsa yang menutup telinga."**
Papua menangis. Dan selama keadilan masih memilih diam, kita semua sedang ikut menyakiti bangsa ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI