Dulu, saat kecil, ketika mendengar lagu “Libur telah tiba, libur telah tiba, hore! hore! horeee!” dari Tasya Kamila, saya langsung lompat-lompat seperti sedang audisi jadi cheerleader SD.
Lagu itu adalah anthem resmi saya di bulan Juni dan Desember. Menurut saya hampir setara nasionalismenya dengan “Indonesia Raya,” hanya lebih riang dan bisa dipakai untuk lipsync drama kelas.
Saking senangnya, saya bahkan pernah menyanyikannya sambil menumpahkan semur jengkol ke meja makan—itu momen bahagia, walau mama saya tidak setuju.
Namun sekarang, setelah dewasa dan terdaftar dalam program BPJS Ketenagakerjaan, saya menyanyikan lagu yang berbeda: “Paket telah tiba, paket telah tiba... horeee... horeee... horeee!” Dan lagu ini dinyanyikan bukan menjelang libur panjang, tapi setiap kali saya mendengar suara motor berhenti di depan pagar. Kadang-kadang, padahal itu cuma tetangga naik ojek online. Tapi tetap, jantung ini sempat melompat.
Itulah hidup: dari liburan ke belanja online. Dulu menunggu matahari terbit di pantai. Sekarang menunggu abang kurir bawa skincare diskon 9.9.
Hari Cuti Bersama: Liburan yang Terlalu Bersama
Kita hidup di negara yang hobi mengedit kalender. Pemerintah sering sekali memberikan hadiah kecil berupa cuti bersama, sebuah konsep yang sangat Indonesia: “Udah libur nasional nih, ayo kita kasih bonus libur satu-dua hari lagi biar rame!”
Dan rame lah kita.
Rame beli tiket. Rame pesan hotel. Rame macet. Rame update story: “Finally liburan! #healing”
Tapi setelah healing-nya selesai, ekonomi formal kita sering menderita burnout.
Dalam satu tahun, bisa ada 15–20 hari libur nasional ditambah potongan-potongan cuti bersama. Bandingkan dengan negara seperti Amerika Serikat yang cuma punya sekitar 10 hari libur nasional. Di sana, jika kamu libur 4 hari berturut-turut, kamu dianggap baru saja pulang dari operasi plastik atau pindah rumah.