Mohon tunggu...
Viktor Krenak
Viktor Krenak Mohon Tunggu... -

Pemuda desa dari pedalaman Papua, Putus kuliah, sekarang di Kota Baru/Jayapura,sedang "memimpikan" hidup baru yang lebih baik.\r\n\r\nMENULIS BUKAN UNTUK MEMBERONTAK

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Muhaimin, Mau Lebaran Malah Kena Musibah

8 September 2011   01:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:09 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menakertrans Muhaimin Iskandar kini sedang jadi sorotan. Kalau di tahun-tahun sebelumnya kementerian yang dipimpinnya (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) sering dituding tak becus mengurusi TKI dan pekerja migran, kali ini sedikit berbeda tema, yakni kasus suap yang membuatnya harus berurusan dengan Komisi Antikorupsi (KPK).

Lembaga pembasmi korupsi itu saat ini tengah menulusuri uang mencurigakan sebesar Rp 1,5 miliar yang ditemukan penyidik KPK di dalam sebuah kardus durian di lantai 2 gedung A Kemenakertrans, Jalan Kalibata, Jakarta Selatan. Uang itu khabarnya diberikan oleh kuasa direksi PT Alam Jaya Papua (PT AJP), Dharnawati, kepada dua pejabat Kemenakertrans agar Dharnawati mendapatkan proyek pembangunan Infrastruktur Kawasan Transmigrasi di Papua Barat pada APBN-P 2011 dengan nilai proyek sebesar Rp 500 miliar.

Gara-gara uang suap 1,5 miliar itu, KPK kini mengembangkan penyelidikannya ke Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Karena proyek senilai Rp 500 miliar yang dijanjikan kepada Dharnawati itu adalah bagian dari program Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah di 19 kabupaten di berbagai daerah yang dikelola Kemenakertrans dengan total anggaran mencapai Rp 6 triliun. Proyek-proyek itu kini sedang dibahas intensif di Banggar DPR. Khabarnya, 10 persen dari total nilai proyek Rp 6 triliun itu akan dialirkan secara ilegal kepada pihak-pihak yang dianggap “berjasa” meloloskan proyek-proyek tersebut, mulai dari pejabat daerah, kontraktor (pengusaha) daerah yang akan mengerjakannya, Banggar DPR RI, dan tentu saja para pejabat di lingkungan kementerian terkait.

Mungkinkah Muhaimin dan Bupati Manokwari Kecipratan ?

Mencermati lika-liku pembahasan proyek-proyek yang dikelola Kemenakertrans senilai Rp 6 triliun itu, dengan jalur birokrasi yang tentu saja tidak pendek serta waktu pembahasan yang juga tidak sebentar (karena pemunculan proyek-proyek itu harus datang dari daerah melalui Musrembang di daerah, kemudian dibawa ke Musrembang nasional, hingga pembahasannya di Banggar DPR RI), sulit rasanya untuk memastikan bahwa orang-orang penting di jajaran departemen dan kementerian terkait serta para pejabat di daerah tidak kecipratan “uang pelicin”.

Uang haram itu bisa saja datang dari inisiatif sendiri para pengusaha/kontraktor yang ingin mendapatkan “jatah” proyek, namun dalam banyak kasus justru “diproyekan” oleh (sebut saja) oknum-oknum para pengelolan anggaran di departemen/kementerian terkait. Modus terakhir inilah yang diduga terjadi dalam kasus suap PT Alam Jaya Papua (PT AJP) tersebut.

Maka wajar pula kalau untuk memuluskan urusan proyek-proyek senilai Rp 6 triliun dengan jam terbang pembahasan yang lama, membutuhkan “uang pelicin” tidak sedikit, yakni Rp 600 miliar atau 10 persen dari total nilai proyek yang harus disetorkan sebelum pengerjaan proyek berlangsung. Sekali lagi, Rp 600 miliar…!!!

Keterangan Dharnawati dan kuasa hukumnya Farhat Abbas usai diperiksa di KPK beberapa hari lalu dapat dijadikan acuan. Menurut Dharnawati, dirinyadiminta untuk mengalirkan dana Rp 50 miliar (10 persen dari nilai proyek pembangunan Infrastruktur Kawasan Transmigrasi di Papua sebesar Rp 500 miliar), kepada kedua pejabat Kemenakertrans yakni Sekretaris Dirjen Percepatan Pembangunan Kawasan Transmigrasi I Nyoman Suisnaya, dan Kepala Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan Dadong Irbarelawan. Karena tak punya uang, Dharnawati menolak permintaan kedua pejabat tersebut. Dua pejabat tersebut kemudian meminjam uang dari Dharnawati untuk tunjangan hari raya Lebaran (THR Lebaran) sebesar Rp 1,5 miliar itu.

Farhat Abbas mengatakan bahwa ada pejabat dari kementerian lain yang ikut terlibat dalam kasus telah menyeret kliennya itu. Orang itu adalah Sindu Malik, Kepala Seksi Pajak Daerah dan Retribusi IV C Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang kini menjadi mekelar di beberapa proyek Kemenakertrans. Sindu adalah orang yang berperan aktif untuk menjembatani antara pihak pengusaha daerah seperti Dharnawati dengan Badan Anggaran DPR RI dan pihak Kemenakertrans.

“Sindu pernah langsung menelepon Bupati Manokwari agar mendepak Dharnawati dan mengganti dengan kontraktor lain untuk menjalankan proyek transmigrasi di daerah. Alasannya, Dharnawati tidak komit untuk menyetor fee 20 persen dari nilai proyek sebelum proyek itu berlangsung. Uang itu, nantinya akan dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang berjasa memenangkan PT AJP. Dan Uang sebesar Rp 1,5 miliar yang diberikan oleh Dharnawati kepada dua pejabat Kemenakertrans itu untuk Muhaimin. PT AJP punya bukti berupa pesan singkat kedua pejabat itu yang mengatasnamakan Muhaimain”, tegas Farhan.

Untuk diketahui, PT Alam Jaya Papua berkedudukan di Jalan Pahlawan Manokwari, Papua Barat. Perusahaan ini kerap malang melintang membangun proyek-proyek pemerintah. Salah satu proyek yang pernah digarapnya adalah pembangunan Jembatan Waren di Manokwari yang selesai pada Februari lalu.

Pengusaha sering Menjadi Sapi Perahan Pejabat

Modus yang terjadi dalam kasus suap PT AJP di atas adalah modus lama yang sudah sangat lazim terjadi dalam berbagai proyek di banyak institusi pemerintah. Secara aturan “uang pelicin” jelas-jelas diharamkan, tetapi dalam praktek, rumusnya hanya satu : jika ingin mendapatkan proyek, maka harus “tahu sama tahu”.

Saya khawatir, PT AJP hanyalah satu dari sekian perusahaan (kontraktor) di Papua yang sering dijadikan sapi perahan oleh pejabat pemerintahan, baik pusat dan lebih-lebih pejabat di daerah (Papua). Lebih mengkhawatirkan lagi kalau uang hasil pemerasan itu juga dibagi-bagikan kepada “penguasa” lain di Tanah Papua, yaitu pimpinan pemberontak (OPM) untuk mendanai gerakan mereka dan untuk membeli senjata dan amunisi. Tujuan adalah, jika sewaktu-waktu penyidik KPK turun ke Papua untuk menyelidiki para pejabat yang terindikasi korupsi, maka OPM segera beraksi membuat keonaran di kota demi melindungi pejabat daerah yang telah mendanai gerakan mereka dengan uang hasil korupsi. Modusnya jelas : simbiosis mutualisme.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun