Aku selalu percaya bahwa musik dan malam adalah dua hal yang selalu berkawan baik. Bahkan ketika pikiran sedang diguyur kalut, mereka selalu menjadi sahabat terakhir di penghujung hari.
Sejak SMP, aku juga meyakini sesuatu yang tak kalah penting. Sebuah teori yang kurasa kutemukan sendiri dalam proses panjang mencari jati diri. Teori yang kusimpan sendiri. Tak pernah kubagi. Sekarang rahasia itu akan kubagikan disini.
Teori temuanku:
Tidak ada yang namanya SAHABAT.
Ya.
Aku tidak mempercayainya. Apa itu sahabat? Seseorang yang selalu ada ketika kamu sedih? Seseorang yang selalu mendukungmu ketika kamu jatuh? Dan ketika kamu nggak mendapatkan semua itu, kamu jadi marah dan menganggap dia bukan orang yang memahamimu. Kamu merasa dia orang yang paling menyakitimu. Paling pantas dibenci seumur hidupmu karena tidak mengikuti segala keinginanmu sebagai seorang SAHABAT. Dan kamu merubah titel mereka mejadi sekedar TEMAN. Bukan SAHABAT lagi.
Menjijikkan.
Terdengar seperti kita adalah si makhluk lemah sementara mereka adalah dewa. Begitu juga sebaliknya. Kadang membuat kita merasa menjadi dewa karena bisa menjudge mereka yang tak selalu sepaham dengan kita.
Itulah teori temuanku yang kusimpan rapat-rapat hingga aku dewasa. Sengaja aku tak membaginya kepada siapapun karena aku merasa tidak semua orang akan setuju dengan pendapatku. Bahkan ketika aku memutuskan memilih pasangan hidup. Aku tidak pernah membubuhkan titel kepemilikan dan keterikatan yang membebaninya secara psikologis agar menuruti semua keinginanku.Â
Lantas dengan siapa aku bergantung saat ini?
Jika sahabat saja aku tak punya dan pendamping hidup hanya kuanggap sebagai partner bisnis dalam menjalani ibadah didunia.Â