Mohon tunggu...
Silvi Novitasari
Silvi Novitasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Lepas

Penyuka kamu, buku, senja, dan keindahan. Sempat jadi orang yang ansos, tapi akhirnya jadi orang sosial lewat tulisan. Bahkan menjadi sarjana sosial :D

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Part 1] Childfree vs Antinatalisme "Ketika Seseorang Enggan Memiliki Anak"

23 Agustus 2021   11:06 Diperbarui: 23 Agustus 2021   11:18 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Ketika Seseorang Enggan Memiliki Anak"
--------------------

Lagi booming soal childfree, ya?
Ngomong-ngomong soal childfree, beberapa bulan lalu aku sempat sedikit bikin mini riset tentang anti-natalisme. Mungkin sekilas, bisa dikatakan sama, bisa juga tidak. Tergantung seseorang yang menganut paham tersebut memiliki dasar atau alasan apa untuk berpaham seperti itu.

Aku mau sedikit sharing dulu soal terminologinya. Jadi childfree itu suatu istilah yang merujuk pada paham atau pemikiran seseorang yang enggan memiliki anak. Bukan soal enggan atau takut melahirkan saja, namun bagi pria pun ada keengganan untuk mempunyai seorang anak. Alasannya beragam, bisa karena faktor sosial, kesehatan, ekonomi, psikis, dan sebagainya.

Kalau anti-natalisme, sebetulnya ini merupakan paham filsafat yang dimodernisasi dari paham nihilisme pada zaman dahulu. Pas awal ngelakuin riset dan observasi dulu, aku sedikit kaget, karena di balik minimnya pengetahuan orang akan paham anti-natalisme, rupanya banyak lho yang menganut paham ini.

Anti-natalisme adalah sebuah paham yang dianut oleh seseorang atau kelompok yang berpikir bahwa kelahiran punya konotasi negatif. Orang-orang yang menganut paham ini, akan enggan dan tidak mau memiliki anak. 

Alasan dari kemunculan paham ini karena penganut pahamnya takut jika di kemudian hari, anak-anak mereka akan mengalami penderitaan. Latar belakang kemunculan paham pun sama, didasari berbagai faktor seperti kesehatan, sosial, ekonomi, psikis, hingga pengaruh budaya.

Saat observasi, sempat mengobrol sedikit dengan orang yang menganut paham anti-natalisme ini. Dari segi materi, aku rasa, dia sangat berkecukupan. Namun satu hal, dirinya tidak memiliki keharmonisan bersama keluarganya. Baik keharmonisan dengan ibu, ayah, hingga saudara kandung. 

Dia sempat cerita,
"Dulu gue sempat berantem hebat sama nyokap, gue sampe ngomong. Mom, please. 'Jie" gak pernah minta dilahirin. Jadi tolong jangan maksa "Jie" ngelakuin apa yang "Jie" gak mau dan gak suka. "Jie" gak minta lahir ke dunia yang penuh dengan tanggung jawab plus segudang tugas kaya gini. Jadi stop, jangan nambah penderitaan di hidup "Jie" sekarang dengan maksa "Jie" jadi seperti yang Mama mau tanpa bisa ngasih tau, "Jie" hidup buat apa".

Aku kaget, sih. Denger cerita Jie, si informan yang cerita soal kenapa dia jadi penganut paham anti-natalisme (Jie nama panggilan aku buat dia). Latar belakang dan alasan paling besarnya dia menganut paham tsb adalah karena dia merasa menderita dilahirkan ke dunia. 

Dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis, dan segudang kewajiban serta kondisi "serba-salah" yang membuat penderitaan datang menghampirinya. Jadi, dia merasa melahirkan anak hanya akan memberi penderitaan pada anak tersebut.

Informan lain, panggil saja Sam. Sama seperti Jie, dia adalah seorang perempuan muda. Dia mengaku mengaku, bahwa dirinya seorang penganut paham antinatalis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun