Raja Ampat, aset penting Indonesia dalam dunia pariwisata yang terkenal akan keindahan alamnya. Wilayah ini dikenal sebagai pusat segitiga terumbu karang dunia, dengan sekitar 75 persen jenis terumbu karang di dunia hidup di sana. Lebih dari 1.500 spesies ikan, berbagai jenis moluska dan karang juga mendiami perairan Raja Ampat.
Namun belakangan, terjadi sorotan tajam dari masyarakat yang diawali dengan adanya laporan aktivis lingkungan, Greenpeace yang mengungkap adanya tambang nikel di pulau-pulau kecil yang berada pada wilayah yang memiliki julukan "surga terakhir" di dunia ini. Aktivitas penambangan nikel ini dinilai sangat membahayakan ekosistem dan merusak keindahan alam yang dimiliki kepulauan Raja Ampat. Tagar #SaveRajaAmpat pun membanjiri laman media sosial.
Mengakibatkan Kerusakan
Dari sebuah perjalanan menelusuri Tanah Papua pada tahun 2024 lalu, Greenpeace telah menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas.
Berdasarkan sejumlah dokumentasi yang didapat, terlihat ada limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir. Limpasan tanah ini muncul karena pembabatan hutan dan pengerukan tanah. Adanya sedimentasi ini berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat. Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, masih ada dua pulau kecil lain di Raja Ampat yang juga terancam tambang nikel. Kedua pulau tersebut adalah Pulau Batang Pele dan Manyaifun (kompas.com, 7-06-2025).
Pelanggaran Serius
Ketika gambar dan video terkait kerusakan yang terjadi di pulau-pulau yang sudah pemerintah keluarkan izin tambang nikel mencuat, seolah pemerintah terkejut dengan apa yang terjadi. Para menteri  pun terkesan merespon dengan cepat fakta yang sedang menghebohkan masyarakat.Â
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),  menyatakan sudah  melakukan pengawasan terhadap empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat pada 26-31 Mei 2025. Keempat perusahan itu adalah PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.
Dari keempat perusahaan ini, satu tidak mengantongi persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH), yakni PT mulia Raymond Perkasa di Pulau Batang Pele. Sedangkan  PT Anugerah Surya Pratama, perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) asal Tiongkok, beroperasi di Pulau Manuran sekitar 746 hektare tanpa memiliki sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian.
PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH. Total luas area yang digunakan sebagai lokasi penambangan mencapai 5 hektare di Pulau Kawe. Sedangkan, PT Gag Nikel, perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag dengan luas sekitar 6.030,53 hektare yang tergolong pulau kecil. Sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.