Tahun berganti dunia semakin maju dan teknologi kian berkembang, bidang kesehatan dan medis juga telah berkembang dengan munculnya metode pengobatan kanker menggunakan sinar radiasi yang disebut Radioterapi. Akan tetapi kemajuan ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat, sebagian percaya radioterapi merupakan metode terbaik untuk menyembuhkan kanker sementara yang lainnya takut penyakit kanker mereka tambah parah karena radiasinya. Lantas apakah Radioterapi adalah terapi yang aman dijalani pasien kanker?
Berbeda dengan kemoterapi yang menggunakan obat-obatan yang dimasukkan lewat pembuluh darah atau dalam bentuk obat fisik untuk membunuh sel kanker serta menghentikan penyebarannya, radioterapi menggunakan sinar radiasi seperti sinar-X, sinar gamma, atau partikel lain dengan dosis tertentu yang difokuskan pada area tubuh yang terdampak sel kanker sehingga lebih terfokus dan terarah.
Menurut World Health Organization., (2017) “Terapi radiasi adalah modalitas klinis yang menggunakan radiasi pengion dalam pengobatan pasien dengan neoplasia ganas (dan terkadang penyakit jinak). Radioterapi merupakan komponen penting dari terapi kanker multimoda, pembedahan, dan kemoterapi. Lebih dari 50% kasus kanker baru memerlukan radioterapi sebagai terapi definitif atau adjuvan.”
Dalam jurnalnya, Saif S Ahmad et al., (2017: 33) menyatakan bahwa berdasarkan tinjauan sistematis di skala nasional dan internasional terkait informasi rinci tentang jumlah penderita kanker, diperkirakan bahwa sebesar 52% pasien kanker harus menjalani radioterapi pada suatu waktu selama masa pengobatan mereka, baik untuk penyembuhan maupun paliatif (meringankan gejala kronis). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode radioterapi dalam kondisi tertentu diperlukan untuk perawatan pasien kanker, tentu saja untuk menjalani metode ini diperlukan pemeriksaan lanjutan dan persetujuan pasien.
Bagaimana cara kerja radioterapi?
Proses terapi radiasi dengan sinar-X maupun sinar dan partikel radiasi lainnya bekerja dengan cara merusak DNA (materi genetik) sel kanker sehingga mengganggu pertumbuhan sel tumor karena DNA nya terionisasi secara langsung atau tidak langsung dan akhirnya sel kanker yang DNA nya rusak mati selama pembelahan (Gaurav Aggarwal et al., 2017: 413). Sel-sel rusak yang mengalami proses ini disebut apoptosis (kematian sel terprogram). Sel kanker cenderung lebih rentan terhadap radiasi karena perkembangannya yang cepat dan perbaikan DNA nya yang lebih buruk dibandingkan sel normal.
Terapi radiasi yang paling umum adalah External Beam Radiation Therapy (EBRT) atau terapi radiasi sinar eksternal yang menggunakan mesin besar seukuran CT-Scan yang disebut akselerator linear (linac) yang mengarahkan sinar radiasi (biasanya berupa foton atau elektron) dari luar tubuh ke area tumor. Sel-sel normal yang terdapat di sekitar sel kanker juga terkena dampak dari radiasi yang jika tidak diperbaiki bisa berdampak buruk. Namun biasanya EBRT diberikan dalam beberapa fraksi agar sel normal dapat melakukan repopulasi dan perbaikan. Sebagai contoh pengobatan untuk kanker prostat dan kanker kepala dan leher dapat dibagi menjadi 40 fraksi selama delapan minggu. Sementara dalam pengobatan paliatif yang tujuannya untuk mengurangi gejala kronis dan bukan menyembuhkan kanker umumnya hanya memerlukan fraksi tunggal, hal ini dikarenakan radioterapi paliatif menggunakan radiasi dengan dosis rendah untuk bisa mengendalikan tumor (Saif S Ahmad et al., 2017: 33).
Selain EBRT ada juga brakiterapi atau radioterapi internal dengan menempatkan bahan radioaktif tinggi langsung di dalam atau dekat sel kanker untuk menghancurkan tumor, sel normal di sekitar sel kanker mendapat paparan yang sudah diminimalisasi. Namun berdasarkan basis data IAEA Directory of Radiotherapy Centres (DIRAC) yang dimuat dalam jurnal World Health Organization., (2021: 6) rasio perbandingan perawatan EBRT dengan perawatan brakiterapi secara menyeluruh di dunia adalah 9:1.
Apakah radioterapi aman dijalani?
Meskipun metode ini dapat merusak sel sehat di sekitar sel kanker, teknologi modern telah menemukan banyak cara agar radiasi yang ditargetkan lebih akurat dan tidak merusak sel normal di sekitarnya. Dikutip dari World Health Organization., (2017: 112) Imaging atau pencitraan menjadi penentu keberhasilan terapi radiasi dan penargetan sel kanker, terutama jika ada pergerakan (misalnya tumor diafragma atau payudara) yang memengaruhi lokasi tumor relatif terhadap jaringan sehat, menjadikan pencitraan sebagai penentu untuk mengurangi kerusakan kolateral.
Sebagian besar EBRT menggunakan pencitraan CT untuk menemukan lokasi tumor dan memperoleh informasi terkait kepadatan serta bentuk jaringan pasien. Modalitas diagnostik pencitraan ini memberikan informasi terbaik tentang posisi dan luas tumor. Namun tidak semua kanker dapat dideteksi posisinya hanya dengan pencitraan CT, kebanyakan lokasi tumor juga dideteksi dengan alat Magnetic Resonance Imaging (MRI), alat ini tidak menggunakan radiasi melainkan medan magnet.
Di beberapa bagian tubuh seperti otak, computerised image fusion juga digunakan bersamaan dengan pemeriksaan CT Scan untuk meningkatkan gambar lokasi tumor yang lebih akurat. Kemudian adapun cara deteksi kanker paru-paru dan limfoma dengan cara menunjukkan area anatomi yang terdapat tumor dengan bantuan Positron Emission Tomography-CT.
Selama beberapa tahun terakhir juga telah dikembangkan sebuah pendekatan yang dikenal Three Dimensional Conformai Radiotherapy (3D-CRT) yang memungkinkan para spesialis onkologi untuk menyelamatkan lebih banyak sel normal dan mengurangi toksisitas. Lalu adapun beberapa teknologi radioterapi modern lainnya, antara lain:
- IMRT (Intensity-Modulated Radiation Therapy)
Teknik ini mampu mengirimkan radiasi lebih presisi dengan dosis yang tinggi serta meminimalkan kerusakan jaringan sehat di sekitar sel kanker terutama pasien dengan kanker prostat. Namun IMRT masih memiliki kekurangan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap metode ini.
- IGRT (Image-Guided Radiation Therapy)
Alat ini menggunakan pencitraan untuk memantau posisi tumor secara presisi saat perawatan, memastikan bahwa radiasi diberikan hanya pada area target yang tepat. Paparan radiasi yang dipancarkan IGRT lebih kecil dibandingkan IMRT. Alat ini sangat efektif untuk meningkatkan akurasi radioterapi. Dan masih banyak lagi teknologi pencitraan modern yang akan terus bertambah dan berkembang seiring bertambahnya zaman serta bertumbuhnya ilmu pengetahuan kesehatan dan medis.
Seberapa aman terapi radiasi sangat bergantung pada kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan, jumlah dosis yang diberikan, jenis kanker, dan lokasi tumor karena terapi ini tetap memiliki efek samping seperti mual, kelelahan, diare, perubahan warna kulit, dan efek jangka panjang untuk organ tertentu. Namun berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) kematian langsung karena radioterapi sangat jarang terjadi. Dibandingkan risiko nya, metode radioterapi sangat efektif untuk membunuh sel kanker dan mengurangi kekambuhan. Sehingga terapi radiasi aman apabila dilakukan sesuai standar dan dosis yang sudah disesuaikan dengan kondisi pasien.
Dikutip dari World Health Organization., (2017) menyatakan bahwa: “keselamatan pasien, pekerja, dan masyarakat umum dari radiasi selalu menjadi pertimbangan utama untuk meminimalisir dampak dari radiasi.”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI