Mohon tunggu...
Viryan Azis
Viryan Azis Mohon Tunggu... -

kerje di kpu | ngopi tak pakai gule | fans barca | iG/twitter: @viryanazis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Urgensi Reorganisasi Badan Adhoc Pemilu

28 Januari 2017   10:03 Diperbarui: 29 Januari 2017   11:36 3036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tantangan manajemen untuk penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019 sangat tinggi, yaitu bagaimana KPU melaksanakan secara demokratis dan berintegritas pemilu serentak legislatif dan pemilu eksekutif yang dapat menggunakan hingga satu milyar surat suara?. Tantangan tersebut bermuara pada pandangan bahwa apabila KPU dapat melaksanakan pemilu serentak 2019 dengan kualitas yang sama seperti sebelumnya sudah menjadi pencapaian yang sangat baik.

Rasanya sulit sekali dapat melampaui capaian KPU saat ini yang telah terbukti sukses melaksanakan pemilu 2014 dengan sejumlah pembaruan pemilu seperti: penerapan teknologi informasi dengan efektif seperti : Sipol, Sidalih, Sidapil hingga Situng yang dikelola dengan prinsip open goverment sehingga menghasilkan partisipasi publik yang sangat tinggi dan efektif. Kisah sukses kawalpemilu yang berhasil membantu KPU memenuhi salah satu instrumen pemilu demokratis, yaitu hasil pemilu yang cepat diketahui saat pemilu eksekutif (pilpres).

Namun setiap masa ada tantangannya, demikian pula dalam menatap pemilu 2019. Secara kelembagaan KPU memiliki modal kepercayaan publik yang tinggi sehingga wajar saja bila komisioner KPU RI saat ini kembali dipertimbangkan untuk dipilih kembali untuk masa kerja periode kedua, bahkan menjadi harapan publik. Dengan adanya tantangan yang lebih besar, salah satu agenda terpenting adalah menyiapkan kerangka hukum pemilu yang mengatur penguatan manajemen pemilu untuk terlaksanakanya penyelenggaraan pemilu 2019 dengan minimal berkualitas sama seperti pemilu 2014. Untuk itu proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang menggabungkan 3 (tiga) UU menjadi satu perlu juga memperhatikan dengan lebih dalam aspek teknis penyelenggaraan pemilu selain aspek sistem pemilu, dapil, dana kampanye dan sebagainya.

Tiga Pertanyaan Kunci
Suksesnya pemilu 2014 masih menyisakan sejumlah permasalahan yang perlu diperhatikan dengan serius secara integral dengan tantangan manajemen pemilu 2019. Secara sederhana ada 3 pertanyaan kuncinya, yaitu: pertama, bagaimana cara melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS dengan 5 kotak suara selesai pada hari yang sama?; kedua, bagaimana cara pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara dengan lebih efisien?; ketiga, bagaimana cara menyelesaikan permasalahan teknis lainnya ditingkat badan adhoc seperti daftar pemilih bermasalah dan pembagian form C6 (surat pemberitahuan) kepada pemilih?

Tiga pertanyaan kunci ini harus dapat dijawab dengan langkah-langkah teknis penyelenggaraan yang kongkrit, aplikatif serta efektif. Pertanyaan pertama menjadi krusial karena realitas pelaksanaan pemungutan suara pemilu sebelumnya pada sejumlah TPS dengan empat kotak suara berlangsung hingga dini hari sehingga kotak suara diserahkan ke PPS di kantor desa atau kelurahan pada subuh atau pagi hari berikutnya. Kondisi ini menghadirkan potensi manipulasi dalam penghitungan suara di TPS.

Pertanyaan kedua pun demikian, dengan proses rekapitulasi penghitungan suara secara berjenjang dari PPS dan PPK yang dilanjutkan ke KPU Kabupaten/Kota diduga sejumlah pihak kerap menjadi pintu masuk terjadinya manipulasi suara oleh oknum badan adhoc.


Pertanyaan ketiga tak kalah pentingnya karena terkait dengan jaminan hak konstitusional warga negara. Pada pemilu masa orde baru, daftar pemilih menjadi salah satu malpraktik pemilu dengan istilah seperti: menggunting pemilu dan pemilih fiktif. Istilah menggunting pemilih dimaksudkan menghilangkan hak pilih sejumlah warga negara dikarenakan perbedaan preferensi politik. Sedangkan pemilih fiktif menjadi sarana untuk menambahkan perolehan suara peserta pemilu tertentu yang dikenal dengan penggelembungan suara. Pentingnya menjawab pertanyaan kunci diatas semakin mendesak dengan berkaca pada besarnya jumlah pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu yang salah satunya pada tahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil pemilu.

Mendesaknya Reorganisasi
Membenahi badan adhoc penyelenggara pemilu (badan adhoc) menjadi fokus pembahasan untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Formulasi pembenahan badan adhoc yang efektif bila ditemukan penting untuk diakomodir pada undang-undang penyelenggaraan pemilu sehingga menjadi bagian dari hukum pemilu. Salah satu alternatif pembenahan badan adhoc adalah dengan mempertimbangkan untuk dilakukannya reorganisasi. Salah satu istilah yang muncul dari pencarian arti reorganisasi di mesin pencari google adalah perubahan garis kewenangan, struktur organisasi, struktur keuangan dan perubahan lainnya yang ditujukan untuk memperbaiki struktur manajemen dan keuangan suatu organisasi. Sementara menurut kamus besar bahasa indonesia (kbbi) online reorganisasi adalah penyusunan kembali (pengurus, lembaga, dan sebagainya). Dengan dua pengertian tersebut, reorganisasi badan adhoc dimaksud bermakna melakukan perubahan tugas, fungsi dan wewenang badan adhoc mulai PPK, PPS, KPPS serta PPDP/Pantarlih.

PPDP/Pantarlih dimasukkan karena secara faktual menjadi salah satu bagian dari penyelenggara pemilu yang bersifat adhoc dengan fungsi utama pada kerja melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Hasil kerja PPDP/Pantarlih digunakan oleh PPS dan KPPS untuk membagikan surat pemberitahuan kepada pemilih (form C6). Pada realita pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara kerap muncul masalah seputar daftar pemilih seperti: adanya pemilih yang sebelumnya sudah terdaftar namun kini hilang, adanya pemilih telah meninggal masih ada di dalam DPT, adanya pemilih yang belum memenuhi syarat namun masuk dalam DPT dan sebaliknya. Untuk itu dalam konteks membenahi badan adhoc harus juga memasukkan PPDP/Pantarlih.

Pendekatan dalam membenahi badan adhoc perlu dilakukan dengan hati-hati dan detail, mengingat taruhannya adalah kualitas pelaksanaan pemilu serentak 2019. Langkah awal yang paling baik dengan belajar atau mengambil hikmah dari pelaksanaan pemilu sebelumnya. Hal ini terbukti efektif dan menjadi salah satu pendekatan dalam praktik manajemen dengan istilah yang dikenal luas sebagai continuous improvement (CI), yaitu usaha usaha berkelanjutan yang dilakukan untuk mengembangkan dan memperbaiki produk, pelayanan, ataupun proses (www.shift indonesia.com). Proses CI melalui empat langkah PDCA (Plan-Do-Check-Act) yang dikenal sebagai siklus Deming. Dengan demikian, pembenahan badan adhoc tidak semata berkalkulasi dari pengalaman namun perlu pula dilakukan uji lapangan atau simulasi sebelum diputuskan menjadi pilihan formulasi reorganisasi yang menjadi bagian dari hukum pemilu.

Tiga Aspek Reorganisasi
Menjawab tiga pertanyaan kunci tersebut menghasilkan tiga aspek formulasi reorganisasi. Disebut tiga aspek karena menjadi satu kesatuan formulasi reorganisasi yang masih perlu di uji tingkat keefektifannya. Tiga aspek tersebut secara tertib mengacu pada pelaksanaan tahapan pemilu di tingkat badan adhoc, yaitu coklit daftar pemilih, pembagian C6, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi. Berikut langkah reorganisasi yang dapat dipertimbangkan:

1. PPDP/Pantarlih menjadi PPP (Petugas Pelayan Pemilih)
Hasil kerja PPDP/Pantarlih menjadi penentu dari kualitas daftar pemilih. Semakin baik kerja PPDP/Pantarlih maka akan semakin baik kualitas daftar pemilih. Berbagai permasalahan daftar pemilih yang muncul menjelang atau pada hari pemungutan suara terjadi selain karena hasil kerja PPDP/Pantarlih, KPPS tidak mengetahui proses kerja PPDP/Pantarlih dalam melakukan coklit. Namun muara permasalahan daftar pemilih pada hari pemungutan suara seperti ada pemilih tidak terdaftar atau dicoret serta merta divonis sebagai kesalahan kerja PPDP/Pantarlih, padahal terkadang hal tersebut disebabkan informasi dari anggota keluarga bahwa yang bersangkutan tidak akan ada pada hari pemungutan suara.

Pada sisi lain juga ditemukan kasus PPDP/Pantarlih dalam bekerja memang kurang bertanggungjawab dan masalah dari hasil kerjanya ditanggung oleh KPPS. Permasalahan lain kerap terjadi pada distribusi form C6 oleh PPS/KPPS. Distribusi form C6 berbasis daftar pemilih yang dihasilkan oleh PPDP/Pantarlih terkadang kurang efektif dan menjadi modus pelanggaran pemilu. Secara teknis permasalahan distribusi form C6 dapat terjadi karena keterbatasan PPS dalam mendistribusikan form C6 atau ada pula kasus KPPS tidak menguasai lapangan.

Solusi atas permasalahan tersebut adalah dengan menjadikan PPDP/Pantarlih tidak hanya bertugas melakukan coklit dalam pemutakhiran daftar pemilih saja, melainkan juga melakukan tugas ikutan yang terfokus pada pelayanan pemilih, yaitu melakukan coklit pemilih, membagi form C6 kepada pemilih serta secara otomatis menjadi anggota KPPS keempat yang melaksanakan tugas menerima pemilih yang akan masuk ke TPS, memeriksa tanda khusus pada jari pemilih dan membubuhkan nomor urut kedatangan pemilih.

Dengan penyatuan tugas PPDP/Pantarlih dari sebatas menjadi melakukan coklit menjadi fokus pelayanan pemilih dapat mengeliminir berbagai permasalahan teknis sebelumnya dikarenakan kerja pelayanan pemilih dilakukan oleh satu orang untuk satu TPS sejak coklit hingga pemungutan suara. PPDP/Pantarlih akan semakin sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya dan semakin bertanggungjawab karena hasil kerjanya akan teruji pada hari pemungutan suara, yaitu yang bersangkutan juga melakukan tugas menerima kehadiran pemilih di TPS. PPDP/Pantarlih juga melakukan tugas membagikan form C6 karena yang bersangkutan memahami kondisi pemilih, mulai dari alamat rumah hingga perkiraan keberadaan pemilih dirumah.

Secara teknis administrasi, maka dapat dilakukan efisiensi dan kontrol kerja dengan mendisain ulang SDPT (Salinan Daftar Pemilih Tetap) yang sebelumnya hanya memuat daftar pemilih dengan menambahkan sejumlah kolom tambahan disebelah kanan seperti: kolom pembagian form C6 dan kolom kehadiran pemilih. Dengan penambahan kolom tersebut, keberadaan SDPT bertambah fungsi juga sebagai lembar kontrol distribusi form C6 serta pada hari pemungutan suara sebagai dokumen absensi kehadiran pemilih dengan lebih tertib.

Dengan demikian, fungsi KPPS keempat secara administrasi akan lebih mudah karena hanya memberi tanda centang dan kolom tanda centang disediakan. Dokumen SDPT dengan format tersebut juga yang akan diterima oleh para saksi dan dalam proses pelaksanaan pemungutan suara, dilakukan sesi konfirmasi KPPS kepada saksi akan jumlah pemilih di TPS tersebut, berapa pemilih yang menerima form C6 dan saksi dapat pula secara bersama dengan KPPS menghitung kehadiran pemilih dengan lebih detail. Konsekwensi beban kerja tentu menjadi dampaknya namun hal tersebut diiringi dengan bertambahnya penghasilan yang diterimanya. Pendekatan ini bila diterima dapat mulai diterapkan pada pilkada serentak tahun 2018.

2. Penambahan jumlah anggota KPPS dan penghitungan suara paralel
Penambahan jumlah anggota KPPS sebagai solusi terhadap beban kerja KPPS yang bertambah dari mengelola empat surat suara dan empat kotak menjadi mengelola lima surat suara dan lima kotak. Penambahan jumlah anggota KPPS diperlukan pada TPS yang jumlah pemilihnya lebih besar dari 250 orang. Dalam RUU Penyelenggaraan pemilu 2019 disebutkan jumlah pemilih per TPS maksimal 500 orang. Selain penambahan jumlah anggota KPPS terdapat opsi lain yaitu jumlah pemilih per TPS dikurangi menjadi 250 atau bahkan 200.

Pendekatan ini dapat saja dilakukan namun akan menghasilkan inefisiensi karena akan terjadi penambahan jumlah TPS hingga 50-60%, disisi lain proses penghitungan suaranya tetap dilakukan lima kali terhadap lima kotak suara yang bermakna terjadi penambahan waktu penghitungan untuk dari empat kali menjadi lima kali.

Usulan penambahan jumlah anggota KPPS selain karena bertambahnya satu surat suara dan satu kotak suara, diikuti dengan melakukan penghitungan suara atas lima kotak tersebut secara paralel. Penghitungan suara paralel dimaksud dengan melakukan penghitungan suara lebih dari satu kotak suara secara bersamaan, dalam hal ini dilakukan penghitungan paralel dua kotak suara secara bersamaan dengan proses sebagai berikut: pertama, kotak suara pilpres dihitung secara paralel dengan kotak suara DPR; kedua, kotak suara DPD dihitung secara paralel dengan kotak suara DPRD Provinsi dan ketiga, kotak suara DPRD Kabupaten/Kota dihitung terakhir. Dengan demikian, akan terjadi efisiensi waktu penghitungan suara dari sebelumnya empat kali, tidak menjadi lima kali bahkan hanya tiga kali. Efisiensi waktu dalam penghitungan suara dan kerja KPPS dapat lebih cepat selesai karena pengisian formulir C dan C1 beserta lampiran dapat lebih cepat karena adanya penambahan jumlah KPPS. Dengan pendekatan ini, permasalahan kerja KPPS hingga dini hari serta kotak suara diantar pada waktu subuh bahkan pagi dapat diminimalisir. Efisiensi terjadi dalam hal waktu dan efektifitas hasil bahkan semakin terjamin.

Penambahan anggota KPPS menjadi kebutuhan dari tujuh orang menjadi sebelas orang dengan asumsi, satu kegiatan penghitungan suara dilakukan oleh lima orang dan satu orang lainnya melakukan fungsi koordinasi atau tugas lainnya. Penambahan jumlah anggota KPPS dan perlakuan penghitungan suara paralel hanya dilakukan pada TPS dengan jumlah pemilih lebih dari 250 orang. Penambahan jumlah anggota KPPS hingga sebelas sebenarnya bukanlah hal baru, pada buku Indonesia Memilih yang merupakan laporan panitia pemilihan indonesia regulasi pemilu tahun 1955, pada halaman 97 disebutkan jumlah anggota KPPS (saat itu bernama Penjelenggara Pemungutan Suara), antara 4 sampai 11, namun kemudian diambil pukul rata 7 anggota.

3. Rekapitulasi elektronik berbasis kecamatan/distrik
Reorganisasi badan adhoc harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan aspek penerapan teknologi informasi untuk pemilu 2019. Teknologi Informasi memang dapat memudahkan kerja manusia secara nyata namun teknologi informasi dapat pula menghasilkan masalah ketika penerapannya tidak dilakukan dengan efektif. 

Kondisi ini terjadi pada pelaksanaan pemilu 2009 ketika pilihan teknologi yang digunakan dalam membantu rekapitulasi penghitungan suara pada pelaksanaannya terkendala. Saat itu KPU menggunakan metode ICR (intelligent character recognition) yaitu pemindaian huruf dan angka di formulir untuk ditafsirkan ke dalam bentuk huruf dan angka di komputer. Kemudian, data hasil ICR dikirimkan ke KPU pusat melalui jaringan VPN yang dipunyai Telkom. Setelah sampai di KPU pusat, data hasil ICR ini kemudian direkap dan diumumkan melalui situs web khusus KPU. Capaian hasil yang diperoleh berkisar hanya 28%. (Sumber: Modul Tata Kelola Pemilu).

Permasalahan tersebut berhasil diselesaikan pada pelaksanaan pemilu 2014 dengan pendekatan teknologi yang lebih sederhana namun handal serta penggunaan jaringan umum dengan scan form C1 dan entry data oleh operator menggunakan aplikasi Situng.
Dari pengalaman tersebut, pilihan teknologi tidak hanya pada aspek kecanggihannya namun pada aspek potensi efektifitas penerapannya. Beranjak dari pandangan tersebut, penerapan teknologi informasi untuk pemilu 2019 lebih tepat dengan e-rekap daripada e-voting. Penerapan e-rekap dilakukan sekaligus dengan merubah proses pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara secara menyeluruh sebagai berikut:

3.1. Setelah KPPS menyelesaiakan kegiatan penghitungan suara, kotak suara tidak lagi dikembalikan ke kantor desa atau kelurahan melainkan langsung ke kantor kecamatan;
3.2. Kotak suara yang dikembalikan KPPS tersebut langsung ke kantor kecamatan tetap diterima oleh PPS dan menjadi tanggungjawab PPS melakukan rekapitulasi penghitungan suara seluruh TPS di wilayah kerjanya, namun kegiatan rekapitulasi penghitungan suara ini tidak lagi dilakukan di kantor desa atau kelurahan;
3.3. Kegiatan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPS dan dihadiri oleh saksi tingkat PPS di kantor kecamatan, sehingga kegiatan rekapitulasi akan terkonsentrasi di kecamatan dan mengurangi titik sebaran kegiatan rekapitulasi penghitungan suara secara nasional. Dengan terkonsentrasi, pemantauan dan pengamanan dapat lebih optimal dilakukan secara bersamaan kegiatan rekapitulasi suara per TPS tetap efektif karena dilakukan oleh PPS dan dihadiri oleh saksi peserta pemilu ditingkat PPS. Pendekatan ini berbeda dengan pola rekapitulasi penghitungan suara di kecamatan karena langsung dilakukan oleh PPK;
3.4. Proses rekapitulasi penghitungan suara oleh PPS dapat dilakukan secara bersama pada satu waktu oleh beberapa PPS. Ini sangat tergantung pada ketersediaan ruangan/gedung;
3.5. Proses rekapitulasi dilakukan secara elektronik dengan adanya tim entry e-rekap disetiap kantor kecamatan. Tim entry e-rekap ini langsung membantu kerja PPS dalam merekapitulasi penghitungan suara. Proses e-rekap menjadi dapat lebih efektif karena dilakukan di kecamatan dan ketersediaan jaringan listrik serta internet sangat memadai di tingkat kecamatan;
3.6. Setelah PPS melaksanakan e-rekap selesai, dilakukan proses verifikasi hasil oleh saksi peserta pemilu dan PPL yang dihadiri langsung oleh PPK dan Panwascam. Kegiatan verifikasi hasil akan efektif dengan pola ini, dengan semakin banyak orang yang hadir dalam proses rekapitulasi dalam waktu bersamaan dapat meniminalisir potensi manipulasi hasil pemilu;
3.7. Formulir verifikasi hasil rekapitulasi langsung di tandatangani oleh PPS dan Saksi serta diketahui oleh PPK dan Saksi peserta pemilu tingkat kecamatan;
3.8. Setelah selesai kegiatan rekapitulasi secara elektronik, PPS langsung melakukan rapat pleno penetapan hasil rekapitulasi elektonik per TPS.
3.9. Seketika seluruh PPS menyelesaikan rekapitulasi elektonik, PPK langsung melakukan penetapan rekapitulasi elektronik hasil pemilu per PPS ditingkat kecamatan dalam satu rangkaian proses.

Sembilan tahap kegiatan tersebut menjadi satu kesatuan proses rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik yang dapat meminimalisir manipulasi hasil pemilu. Berbagai permasalahan menyangkut selisih hasil penghitungan suara di TPS yang muncul saat rekapitulasi penghitungan suara di PPS harus dapat diselesaikan pada tahapan ini.

Rekapitulasi elektronik didukung dengan program e-rekap yang dikerjakan oleh operator terlatih di kecamatan. Program e-rekap mengembangan aplikasi SITUNG yang telah ada. Dengan demikian, e-rekap tidaklah memerlukan update mayor melainkan update minor. Aplikasi SITUNG yang terbukti efektif pada pemilu 2014 serta diteruskan pada pilkada 2015, 2017 dan 2018 menjadi langkah transisi menuju e-rekap. Dengan rangkaian ini, maka proses rekapitulasi sudah otomatis selesai dan dilanjutkan dengan proses penetapan hasil pemilu saja.
Proses penetapan hasil pemilu terdapat dua alternatif, yaitu:

1. Dilakukan berjenjang sama seperti kegiatan rekapitulasi sebelumnya, yaitu tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan tingkat nasional namun langsung pada aspek penetapan rekapitulasi hasil pemilu tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan tingkat nasional;
2. Dilakukan langsung penetapan rekapitulasi hasil pemilu secara proporsional, yaitu tingkat kabupaten/kota melakukan penetapan rekapitulasi hasil pemilu untuk DPRD Kabupaten/Kota, tingkat provinsi untuk DPRD Provinsi serta tingkat nasional untuk DPR RI, DPD dan Presiden serta Wakil Presiden terpilih.

Kegiatan rekapitulasi elektonik berbasis kecamatan/distrik diatas berpotensi membuat hasil pemilu dapat diketahui dengan lebih cepat dan lebih berintegritas. Rentang waktu dalam penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara yang sebelumnya memakan waktu lama dapat diminimalisir. Alokasi waktu rekapitulasi yang ditambah pada tingkat kecamatan yang menjadi basis pelaksanaan rekapitulasi elektronik. Berbagai masalah yang muncul harus dapat diselesaikan pada tingkat kecamatan dan pada kondisi tertentu dapat langsung disupervisi oleh KPU Kabupaten/Kota.

Pilihan melakukan reorganisasi badan adhoc penting disadari dengan juga dengan melakukan perubahan pada aspek keuangan badan adhoc, hal yang terlewati pada pemilu 2009 sehingga kegiatan rekapitulasi langsung di kecamatan oleh PPK turut pula bermasalah.
Lebih lanjut, khusus aspek e-rekap perlu dibahas mendalam dalam sebuah komite ahli yang melibatkan pakar hukum pemilu, pakar politik pemilu, pakar IT yang menjadi aktor sukses Situng serta dari unsur perusahaan yang berkinerja ekselen dalam penerapan IT, BPPT, Kemendagri dan praktisi pemilu sehingga reorganisasi badan adhoc semakin matang dan menjadi upaya transformasi kelembagaan KPU yang berkinerja unggul. Dengan melakukan tiga aspek reorganisasi badan adhoc sebagaimana diatas secara komprehensif, tantangan pemilu 2019 serta sejumlah masalah teknis klasik sekaligus prinsip pada tingkat lapangan terjawab dengan efisien, efektif serta meningkatkan kualitas pemilu 2019. Wallahu a’lam bisshowab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun