Indonesia juga menginisiasi program edukasi keimigrasian di daerah asal pekerja migran untuk mencegah keberangkatan ilegal, seperti Program Desa Binaan Imigrasi. Pada Keketuaan ASEAN 2023, Indonesia mendorong adopsi ASEAN Leaders' Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by the Abuse of Technology, yang memperkuat implementasi ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP).
Namun, tantangan tetap ada, seperti prinsip nonintervensi antarnegara ASEAN, perbedaan sistem hukum, dan lambatnya adopsi kebijakan nasional. Indonesia sendiri masih menghadapi kendala dalam penegakan hukum TPPO, sehingga kerja sama regional sangat penting untuk efektivitas pemberantasan perdagangan manusia.
Implementasi Hukum Internasional di Kamboja
Kamboja telah meratifikasi ACTIP dan mengadopsi Protokol Palermo 2000 ke dalam hukum nasionalnya. Pemerintah Kamboja melakukan berbagai upaya, mulai dari kampanye pencegahan, perlindungan korban, hingga penegakan hukum terhadap pelaku. Namun, implementasi di lapangan masih terkendala oleh korupsi, keterbatasan sumber daya, dan rendahnya kapasitas aparat penegak hukum.
Selain itu, pelanggaran hak pekerja di industri garmen juga menjadi perhatian. Industri ini menyerap banyak tenaga kerja, termasuk migran, yang sering mengalami pelanggaran hak seperti upah rendah dan kondisi kerja tidak layak. Standar perlindungan internasional dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menjadi acuan, namun implementasinya masih perlu diperkuat melalui kerja sama internasional.
Tantangan dan Solusi
Beberapa tantangan utama dalam penanganan perdagangan manusia di Kamboja meliputi:
Korupsi dan lemahnya penegakan hukum
Kurangnya perlindungan dan akses keadilan bagi korban
Rendahnya kesadaran masyarakat akan risiko menjadi pekerja migran ilegal
Perbedaan sistem hukum dan prinsip nonintervensi di ASEAN
Solusi yang dapat ditempuh antara lain: