Job fair atau bursa kerja telah lama menjadi salah satu sarana utama yang diperkenalkan pemerintah untuk menjembatani pencari kerja dengan perusahaan. Secara teori, ajang ini menawarkan kesempatan unik bagi kedua belah pihak untuk berinteraksi secara langsung, membangun jejaring, dan melakukan wawancara singkat di tempat. Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan menjamurnya platform pencarian kerja daring, efektivitas job fair sebagai sarana utama untuk mendapatkan pekerjaan mulai dipertanyakan.
Fenomena ini semakin relevan mengingat pergeseran paradigma dalam dunia rekrutmen. Dahulu, job fair menjadi gerbang utama bagi banyak individu untuk menapaki karier. Kini, berbagai platform digital seperti Glints, JobStreet, LinkedIn, Kalibrr, dan bahkan platform khusus seperti Fiverr atau Upwork untuk pekerjaan lepas, menawarkan kemudahan akses informasi lowongan kerja yang jauh lebih masif dan spesifik. Keunggulan platform daring tidak hanya terletak pada jangkauannya yang luas, tetapi juga pada fitur-fitur canggih yang memungkinkan pencari kerja menyaring lowongan berdasarkan kualifikasi, lokasi, gaji, hingga budaya perusahaan. Di sisi lain, perusahaan juga dapat memanfaatkan algoritma cerdas untuk menemukan kandidat yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka, bahkan sebelum proses wawancara dimulai.
Saya menemukan salah satu komentar Tiktok dari akun bernama Mighty Morphin terkait kurangnya efektivitas pada acara job fair ini.
Dalam cuitan tersebut, ia menyebutkan bahwa job fair itu rata-rata hanya branding perusahaan. Mungkin ada beberapa yang diterima, namun tidak banyak. Dan setelah dipikir-pikir, apakah ada HRD yang mau membaca CV sampai ribuan tersebut? Logikanya adalah tidak.
Banyak perusahaan yang berpartisipasi seolah-olah memenuhi kewajiban semata, tanpa niat serius untuk merekrut karyawan dalam jumlah signifikan. Tak jarang, lowongan yang ditawarkan di job fair juga merupakan posisi umum atau junior yang sebenarnya bisa diakses dengan mudah melalui situs web perusahaan atau platform daring. Bagi pencari kerja, job fair juga menghadirkan beberapa tantangan signifikan.
Efisiensi waktu dan biaya
Datang ke lokasi job fair, apalagi jika berada di kota lain, membutuhkan biaya transportasi dan waktu yang tidak sedikit. Antrean panjang untuk menyerahkan CV atau mendapatkan kesempatan wawancara singkat juga bisa memakan waktu berjam-jam, seringkali tanpa hasil yang pasti. Bandingkan dengan melamar pekerjaan secara daring yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, hanya dengan bermodal koneksi internet.
Keterbatasan informasi
Di job fair, pencari kerja mungkin hanya mendapatkan informasi umum tentang perusahaan dan posisi yang ditawarkan. Mereka sulit untuk menggali lebih dalam tentang budaya kerja, benefit, atau prospek karier jangka panjang. Berbeda dengan platform daring, di mana pencari kerja bisa membaca ulasan perusahaan, melihat struktur tim, atau bahkan berinteraksi dengan karyawan yang sudah bekerja di sana melalui LinkedIn.
Persaingan yang ketat dan kurangnya personalisasi
Dalam sebuah job fair, pencari kerja harus bersaing dengan ratusan, bahkan ribuan, pelamar lain dalam waktu yang sangat singkat. Interaksi dengan perekrut seringkali terbatas pada beberapa menit, sehingga sulit bagi pencari kerja untuk menonjolkan keunikan diri dan keahlian mereka. Pendekatan ini cenderung kurang personal, dibandingkan dengan proses lamaran daring yang memungkinkan pencari kerja menyusun surat lamaran yang disesuaikan, portofolio digital, dan bahkan rekaman video perkenalan diri.
Meskipun demikian, tidak berarti job fair harus sepenuhnya ditinggalkan. Job fair masih memiliki potensi sebagai sarana untuk membangun jejaring, mendapatkan inspirasi, atau sekadar melihat tren industri terkini. Namun, untuk tetap relevan di era digital, job fair perlu bertransformasi.
Pemerintah dan penyelenggara job fair perlu lebih selektif dalam mengundang perusahaan, memastikan bahwa perusahaan yang berpartisipasi memiliki komitmen serius untuk merekrut. Penyelenggaraan job fair juga bisa dikemas ulang dengan pendekatan yang lebih modern, misalnya dengan mengintegrasikan teknologi digital. Penggunaan aplikasi khusus untuk pendaftaran, penjadwalan wawancara, atau bahkan sesi mentoring karier secara daring sebelum atau sesudah acara, dapat meningkatkan efektivitas.
Selain itu, edukasi kepada perusahaan mengenai pentingnya memanfaatkan job fair bukan hanya sebagai ajang formalitas, tetapi sebagai kesempatan emas untuk menemukan talenta, juga krusial. Perusahaan perlu didorong untuk menawarkan posisi yang lebih beragam dan relevan, serta memberikan proses wawancara yang lebih substansial di tempat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI