Paus Leo XIV: Nama yang Mengandung Janji
Kini, lebih dari satu abad kemudian, dunia kembali dikejutkan oleh terpilihnya Paus Leo XIV. Nama ini bukan pilihan biasa. Dalam tradisi Gereja Katolik, nama yang diambil oleh seorang Paus mengandung makna dan visi. Maka, saat seorang Paus memilih nama “Leo,” banyak yang melihat ini sebagai isyarat akan arah kepausannya—mungkin sebuah kelanjutan dari semangat Leo XIII yang berani, progresif, dan berpihak pada keadilan sosial.
Kita hidup di era yang penuh tantangan baru: ketimpangan ekonomi global, perubahan iklim, krisis migran, isolasi digital, serta berkembangnya budaya konsumerisme yang menggerus relasi sosial dan spiritualitas. Dalam konteks ini, Rerum Novarum masih relevan, namun tentu membutuhkan penafsiran baru sesuai zaman. Maka wajar bila publik, termasuk umat Katolik, bertanya: apakah Paus Leo XIV akan menjadi "Leo XIII baru" di abad ke-21?
Harapan Terhadap Kepausan Baru: Misi Sosial dan Dialog Global
Banyak pengamat Vatikan memperkirakan bahwa Paus Leo XIV akan menekankan tema-tema sosial-ekologis yang menjadi lanjutan dari ensiklik Laudato Si’ dan Fratelli Tutti. Ini bisa berarti perhatian lebih besar terhadap hak pekerja di era digital, kesetaraan gender dalam pelayanan sosial, serta peran umat awam dalam dunia kerja dan politik.
Kita juga mungkin akan menyaksikan peningkatan dialog antaragama dan kerja sama lintas iman dalam menjawab isu-isu global, seperti kelaparan, pengungsi, dan perubahan iklim. Leo XIII pernah membuka pintu bagi Gereja untuk berdialog dengan filsafat modern, termasuk menyambut kembali pemikiran Santo Thomas Aquinas. Leo XIV, dengan tantangan yang berbeda, tampaknya akan memperluas dialog itu—bukan hanya dengan filsafat, tetapi juga dengan sains, budaya digital, dan kaum muda yang haus makna di tengah banjir informasi.
Gereja yang Hadir, Bukan Hanya Mengajar
Leo XIII pernah mengatakan bahwa “keadilan sosial adalah bagian dari kebenaran moral.” Kalimat itu hari ini terasa semakin penting. Di tengah dunia yang sering bising oleh debat politik dan diam terhadap jeritan kaum lemah, Gereja Katolik dipanggil bukan sekadar untuk mengajar, tapi untuk hadir—menjadi terang, bukan hanya menyalakan lilin di altar, tetapi di pabrik-pabrik, ladang-ladang, dan ruang digital.
Jika Paus Leo XIV benar-benar ingin meneladani Leo XIII, maka kita boleh berharap: bahwa kepausan ini akan menjadi suara yang bersahabat bagi kaum kecil, tetapi juga tegas terhadap ketidakadilan. Gereja bukan lagi benteng yang menjaga diri dari dunia, melainkan jembatan—menghubungkan iman dengan tindakan, dan kasih dengan keadilan.
Ingatlah, ketika Gereja berbicara tentang “hal-hal baru,” itu bukan karena ia ingin mengikuti zaman, tetapi karena ia ingin menyapa manusia zaman ini dengan wajah Kristus yang penuh belas kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI