Mohon tunggu...
Vinsens Al Hayon
Vinsens Al Hayon Mohon Tunggu... Guru - Penyuluh-Guru

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasih Ibu Memerdekakan

20 November 2022   15:30 Diperbarui: 20 November 2022   15:31 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sok. Pribadi. Meniti cita di bangku kuliah.

KASIH  IBU MEMERDEKAKAN

(Sebuah catatan reflektif)

Salah satu pribahasa lama yang masih bertahan dan relevan untuk saat ini, yaitu "Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah." Letak keawetan pribahasa tersebut pada maknanya yang "beyond of limited time," atau  melampaui batas waktu.

Maknanya: "kasih seorang ibu sepanjang masa, kasih seorang anak terbatas." Pribahasa ini adalah suatu analogi alamiah kasik, bahwa "jalan" itu panjang ukurannya, tiada berujung dan "galah" itu pendek. Karenannya arti analog terbentuk seperti itu, "Kasih ibu tiada batasnya sedangkan kasih anak terbatas."

Kasih ibu dalam konteks ini adalah kasih dari seorang perempuan yang melahirkan  anak atau seorang ibu biologis. Walau ada perempuan lain yang juga disapa ibu, berperan dan berfungsi sebagai ibu namun tidak  pernah melahirkan anak.

Ibu yang melahirkan anak atau ibu biologis punya hak paten atas anaknya. Dia lah  ibu sejati dan menerima anaknya dan tetap memperlakukannya seperti anak walaupun anak sudah remaja, dewasa dan berkeluarga. Ini bukti kasih sayang ibu yang tidak terbatas, kasih yang "beyond of limited time." Kasih yang ada sepanjang hayat selama ia ada sebagai  seorang ibu dari anak-anak yang lahir dari rahimnya.

Kasih anak itu terbatas, dan keterbatasanya itu dikarenakan oleh "waktu kronos" yang  meligkungi tumbuh kembangnya. Artinya, suatu tahapan atau "waktu kronos" (kronologi) yang dilalui  selama tumbuh kembang si anak.

Ketika ia tumbuh remaja ia meninggalkan masa anak. Kemudian berlanjut ke masa dewasa dan seterusnya berkeluarga, lalu menuju usia lanjut. Ini yang disebut "waktu kronos".  Tumbuh kembang seseorang sudah pasti dalam waktu kronos ini, sudah dengan sendirinya status dan kedudukan pun berubah. Sementara itu di mata seorang ibu, putera dan puterinya tetap saja sebagai anak.

Realitas akhir-akhir ini mencatat beberapa kasus karena waktu kronos itu. Bahwa ada beberapa anak perempuan dan juga anak laki-laki melupakan kasih ibunya. Bahkan karena super ego dan aneka tekanan kehidupan seorang ibu biologis mengingkari esensi dan eksistensinya sebagai ibu biologis.

Dok Pribadi. Aku bisa selesai.
Dok Pribadi. Aku bisa selesai.

Kisah Shu-shu berikut dapat mengajari kita tentang kehidupan dan kasih ibu. Dikisahkan Tomy Widjaya, yang terbaca di media Wa, bahwa Shu-shu punya ibu biologis yang hebat, smart dan cemerlang kariernya sejak usia muda. Ia seorang berpendidikan dan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah ternama di Tiongkok.

Ibu Shu-shu, Liu Yu, berkata kepada suaminya: "Anak perempuan kita harus lebih menonjol dari anak-anak keluarga lain. Kita harus mempersiapkan masa depannya dan tentunya sekolah-sekolah ternama adalah pendidikannya atau bagian dari hidupnya."

Harapan tinggi dari sang ibu tidak sesuai realitas. Pertumbuhan Shu-shu amat terlambat. Ia belum bisa berjalan saat anak-anak seusianya sudah lincah berlari. Di antara usia  1 tahun 7 bulan, ia belum bisa berjalan.

Perkembangan kemampuan bicaranya juga lambat, dan tidak pintar di sekolah selama usia sekolah. Nilai nol pada setiap mata pelajaran di SD selalu ia dapat, bahkan termasuk hasil test dari soal-soal ujian yang sangat mudah. Tidak hanya itu, kisah di SMP dan SMA juga banyak gagalnya.

Liu Yu, ibu Shu-shu sangat kecewa. Karena itu untuk membuat putrinya pintar ada banyak cara yang dilakukan. Mulai dari program menguatkan otak dengan memberi makan berbagai suplemen setiap hari, yang akibatnya Shu-shu tumbuh lebih cepat dewasa. Sepertinya Shu-shu dipaksa untuk jadi siswa yang pintar dengan berbagai program dan suplemen.

Liu Yu mengatur waktu belajar yang ketat bagi anaknya, mencarikan guru privat yang hebat-hebat. Di sekolah-sekolah  lebih lanjut bahkan di universitas bergengsi Shu-shu dipaksa harus pintar bahkan melebihi kedua orang tuanya. Hal-hal ini sangat melelahkan dan menekan Shu-shu.

Bagi kedua orang tua kaya, pintar dan sukses ini, Shu-shu haruslah melampaui mereka walau kenyaataan Shu-shu adalah anak yang lamban pertumbuhan dan tidak pintar sama sekali. Selalu tidak lulus dan tidak berprestasi di kelas kalau bukan karena usaha keras orangtua mencarikan guru privat dan memaksakan anaknya dengan berbagai program dan cara supaya pintar.

Semua yang dikerjakan sang ibu baik adanya dan tidaklah salah. Ini kasih ibu yang total. Sayangnya kasih ibu itu tidak memerdekakan Shu-shu anaknya sendiri. Dengan kepatuhan total Shu-shu menghargai semua yang dikehendaki ibunya dalam situasi dan kondisi pribadi yang sungguh amat tertekan,  

Ia menulis dalam buku diarynya; " Papa, mama, aku selalu berharap bisa menjadi anak seperti yang kalian harapkan. Tetapi bagaimanapun aku bukanlah anak tipe seperti itu. Aku lelah dan benar-benar lelah. Aku selalu hidup di lingkungan yang bukan miliku. Kelebihan orang lain selalu menonjolkan kebodohanku."

Kisah lanjutnya, Shu-shu sangat lelah sejak masih di bangku SD, kemudian di SMP dan selanjutnya di SMA dengan beragam bully. Seterusnya sampai di perguruan tinggi, Shu-shu sunguh dipaksa dan ia juga memaksakan diri untuk memenuhi segala kehendak ibu dan papanya.

Ketika usai kuliah dan harus bekerja, ia harus bekerja di tempat yang tidak ia kehendaki sehingga ia dibebani lagi dengan cara kerja dan waktu kerja yang menghabisi segala kebutuhan pribadinya. Shu-shu bertambah lelah dan amat lelah.

Maka di akhir kisah, Shu-shu harus mencari kebahagiaan sejati dan kebebasan yang memerdekakannya, yakni  di Surga. Karena terlalu lelah di "sini." Detik selanjutnya Shu-shu pun "terjun bebas" dari lantai 21. Ia menyelesaikan hidupnya dari segala kelelahan hidup yang amat sangat melelahkan.

Kejadian tragis ini,  membuat hati ibunya hancur. Ia hanya sanggup memeluk tubuh putrinya yang sudah dingin dan kaku. Papanya hanya diam kaku di samping putri semata wayangnya.

Dok. Akus siap kerja
Dok. Akus siap kerja

Pertanyaan reflektif, seperti apa pesan kisah Shu-shu untuk direnungkan? Demikiankah kasih ibu sepanjang masa itu adalah kasih yang mengikat dan tidak memerdekakan?

Sangat boleh jadi "Sebagai ibu Shu-shu atau orang tua yang lain bahwa semua yang dilakukan adalah bukti kasih yang nyata. Namun yang sangat dibutuhkan  adalah "kebijaksaan" dalam membimbing anak-anak agar mereka menemukan arah yang seharusnya menjadi milik mereka sendiri. Hal ini analog dengan kata Amzal: "Kebijaksanaan akan memelihara kehidupan." Mungkinkah ? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun