Menelisik data yang dirilis oleh Badan Pusat Statisktik (BPS) dalam situs resminya, tercatat bahwa pada Juli 2025 terjadi inflasi year-on-year (y-on-y) sebesar 2,37 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,60.
Data ini selaras dengan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dimana beberapa komoditi pokok mengalami kenaikan harga yang signifikan, seperti beras, bawang dan minyak goreng, mengakibatkan daya beli masyarakat jadi menurun.
Kondisi ini secara nasional dialami masyarakat di berbagai wilayah, salah satunya Kabupaten DeliSerdang, Sumatera Utara. Walaupun kenaikan harga beras telah terjadi sejak hampir 1 tahun belakangan, namun per Juli 2025 hingga saat ini kenaikan harga beras sangatlah tinggi mencapai Rp 14.000 hingga Rp 15.500 per kilogram, dibarengi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya, seperti bawang merah dan cabai merah.
Ditengah kenaikan harga sejumlah komoditi pokok dan menurunnya daya beli masyarakat, Pemerintah Daerah wilayah DeliSerdang, pada Rabu (27/08/2025) menyelenggarakan Pasar Murah dengan menggandeng pengusaha ritel dan Bulog, dengan tujuan menstabilkan harga kebutuhan pokok.
Pasar Murah, Solusi Instan
Menggelar Pasar Murah memang sekilas terlihat seperti sebuah solusi praktis, namun bila dianalisa lebih dalam, ini bukanlah solusi yang menyentuh akar permasalahan ketidakstabilan harga kebutuhan pokok. Pasar Murah tidak menjamin harga kebutuhan pokok akan mengalami penurunan atau kembali stabil setelahnya, juga tidak menjamin kedepannya apakah daya beli masyarakat meningkat atau justru semakin menurun.
Setidaknya ada beberapa indikasi penyebab terjadinya kenaikan atau ketidakstabilan harga pangan/pokok.
Pertama, berkurangnya lahan pertanian. Terjadinya penurunan luas lahan ini diakibatkan kebijakan politis negara yang terus menerus melakukan pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan ruang hidup masyarakat.
Kedua, keterbatasan sarana produksi, seperti pupuk dan benih. Para petani kesulitan mendapatkan pupuk subsidi karena kerap diselewengkan, sehingga petani harus membeli pupuk non-subsidi dengan harga yang lebih mahal.
Ketiga, masalah distribusi dan permainan tengkulak. Keterlambatan penyaluran kebutuhan pokok, penimbunan, dan adanya kecurangan yang dilakukan oleh produsen dan distributor juga masih menjadi masalah yang belum bisa diatasi hingga saat ini. Kondisi ini dikenal dengan istilah monopoli pasar, dimana suatu barang/jasa sengaja ditimbun, sehingga menciptakan ilusi kelangkaan yang akhirnya menjadi nilai barang/jasa tersebut mengalami kenaikan.