Mohon tunggu...
Vincent Setiawan
Vincent Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - A person who loves to write and inspire others

I love to live a life that full with logic. I love to write for inspiring you and helps you escape this mystical night ride

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menatap Angin

10 Maret 2021   21:40 Diperbarui: 10 Maret 2021   21:49 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terbaring lemas di ranjang yang penuh dengan kedinginan. Kulihat sebelah kasurku, hanya seorang manusia yang tidak bergerak. Tubuhnya belum kaku, tetapi sudah sangat-sangat dingin. Kulitnya pun memucat. Kulihat kembali ke arah sebaliknya, jauh lebih mengenaskan. Tubuhnya sudah hampir sekaku kayu.

Aku pun menatap ke atas. Kulihat lampu yang tidak terang tetapi tidak redup juga. Ia hanya seperti cahaya. Ya, cuma cahaya.

Aku ingin menangis. Ingin aku menarik napas sekali lagi. Tetapi, semuanya sudah sangat terlambat. Sudah tidak bisa aku melakukan hal seperti itu lagi. Pedih hati ini, pedih sekali.

Aku ingin menutup mataku, tetapi ku butuh bantuan. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi sekarang. Tubuhku sudah tidak berada di dalam kendaliku. Aku ingin melakukan banyak hal tetapi sudah terlambat. 

Sementara, sayup-sayup ku dengar suara mereka. "Ini siapa keluarganya? Kok sampai sekarang masih belum ada laporan?" 

Jelas sekali, sepertinya dokter dan para perawat di sini pun bingung. Siapa aku sebenarnya? Di mana keluargaku sekarang memangnya? 

"Kalau tidak ada keluarganya, kira-kira hendak kita bakar atau kita pakai saja sebagai alat penelitian?", Celoteh seorang dokter senior yang sebelumnya menjadi kawan curhatku. Sebelumnya ia selalu membantuku menyelesaikan masalahku, tetapi sekarang malah sebaliknya. Dia hendak melakukan yang tidak benar kepadaku.

"Lebih baik kita bakar saja. Lagipula tulang lehernya sudah rusak parah dan matanya pun sudah rusak akibat tegangan tali yang mengikatnya." Ujar sang dokter lagi. "Baik, dok. Segera saya laksanakan. Kalau semua sudah siap langsung kita bawa dia ke tempatnya."

Sial sekali nasibku. 

Andai saja keputusan bodoh tidak kubuat. Andai saja aku dengarkan apa kata sang dokter untuk meminum semua obat-obatan yang ada. Andai saja, aku berusaha mencari kawan untuk kuajak berbicara selain dokter tersebut, pasti aku tidak terjerumus kepada bisikan-bisikan itu. Andai saja, tali hari itu tidak aku gantungkan ke leherku, pasti aku jauh lebih bisa menikmati hidup. 

Tetapi sudahlah. Tak ada yang perlu aku tangisi lagi sekarang. Semua bebanku yang kudapat selama hidup sudah hilang. Sebentar lagi, aku pun akan musnah sempurna setelah dibawa ke perapian. Semoga tubuhku hancur, semoga namaku hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun