Mohon tunggu...
Hukum

Koordinasi Perisai-perisai Korupsi Indonesia

1 Desember 2018   20:59 Diperbarui: 1 Desember 2018   21:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia adalah negara berkembang yang sampai saat ini masih tidak luput dengan permasalahan korupsi seperti negara berkembang lainnya. Namun demikian, Indonesia memiliki perisai ampuh yang melindunginya dari penggerogotan korupsi yaitu KPK. 

KPK adalah singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintahan presiden Megawati untuk memerangi korupsi di Indonesia.

Untuk memberantas korupsi secara professional dan berkesinambungan, lembaga tesebut bertumpu pada Undang-undang no. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang-undang tersebut, KPK memiliki beberapa tugas penting.

 Salah satu tugas yang terpenting adalah melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam menjalankan tugas ini, KPK diharapkan melakukan kerja sama dengan instansi seperti kejaksaan dan kepolisian dan jika benar-benar terpaksa, KPK dapat mengambil alih kasus yang ditangani oleh instansi tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pengambilalihan tersebut dapat disebabkan oleh laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindak lanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut, penanganan tindak pidana korupsi bertujuan untuk melindungi pelaku, penanganan mengandung unsur korupsi, ada hambatan dalam penanganan korupsi karena campur tangan lembaga tinggi negara, dan keadaan lain yang menururt kepolisian dan kejaksaan sulit dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam praktiknya, KPK melakukan beberapa pengambilalihan kasus untuk melakukan tugas tersebut. Salah satu contohnya adalah kasus korupsi di Situbondo yang berlangsung sejak tahun 2005 hingga 2007. Penanganan kasus tersebut awalnya dilakukan oleh pihak kepolisian, namun pihak kepolisian terhalang oleh izin pemeriksaan Kepala Daerah. 

Hambatan tersebut dicantumkan dalam Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana intinya harus ada ijin tertulis dari Presiden untuk menyidik atau menyelidiki kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dengan hambatan ini, Bupati Situbondo tidak dapat diperiksa dengan segera oleh Polda Jatim. Untuk mengatasi kendala tersebut, Polda Jatim berkoordinasi dengan KPK.

Untuk melakukan supervisi atas kasus ini, KPK awalnya melakukan gelar perkara bersama Polda Jatim. Pada proses ini, KPK akan mempertimbangkan kemungkinan kasus ini diambil alih atau tetap ditangani Polda Jatim. Setelah proses dilalui, kedua pihak sepakat kasus korupsi yang diambil alih KPK hanya korupsi yang menyangkut Bupati Situbondo saja. 

Dasar pengambilalihan ini sesuai dengan alasan yang dicantumkan dalam UU No. 32 Tahun 2002 yaitu pengambilalihan dengan alasan keadaan yang menurut pertimbangan kepolisian dan kejaksaan sulit ditangani secara baik. Selain itu, hal ini didasari juga pertimbangan bahwa KPK tidak perlu ijin presiden untuk memeriksa Kepala Daerah. 

Dalam penanganan berikutnya, KPK dan Polda Jatim saling bertukar barang bukti karena barang bukti berupa dokumen asli seperti surat-surat asli tidak mungkin dipecah-pecah satu sama lain. Pada kasus ini, KPK dan Polda Jatim menunjukkan pola relasi positif dimana keduanya saling bersinergi dan berkoordinasi untuk menyelesaikan kasus korupsi.

Pada contoh kasus lainnya, KPK melakukan supervisi pada kasus penyelewengan Dana APBD Kabupaten Kendal tahun 2003 karena kasusnya tidak mengalami perkembangan signifikan. Berbeda dengan kasus Situbondo dimana penyidik kepolisian tidak mendapat ijin dari presiden, dalam kasus Kendal penyidik berhasil mendapatkan ijin dan telah memanggil Bupati Kendal beberapa kali sebagai saksi. Karena tidak ada kemajuan sekitar 8 bulan, KPK mengirim anggotanya ke Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kendal untuk mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan terkait penyelewengan dana tersebut. 

Selanjutnya, KPK masuk dalam tahapan gelar perkara dan melihat kelemahan-kelemahan yang ada dalam penanganan kasus oleh pihak kepolisian. Setelah beberapa tahap di atas, KPK berdasarkan peraturan perundang-undangan memutuskan untuk mengambil alih kasus tersebut dengan alasan penanganan kasus korupsi berlarut-larut dan tertunda-tunda dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dua contoh kasus di atas adalah contoh pelaksanaan tugas KPK sebagai koordinator dan supervisor penganangan kasus korupsi. Namun ada beberapa hambatan yang dapat dianalisis dari kasus di atas yaitu mekanisme koordinasi dan supervisi KPK belum cukup jelas, koordinasi dan supervisi tersebut hanya berbasis kasus lapangan bukan pada kinerja lembaga terkait, prosentase kasus yang diambil alih KPK masih sedikit, KPK belum memiliki sumber daya khusus untuk bidang koordinasi dan supervisi, dan KPK tidak memiliki system informasi penanganan perkara korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan. 

Selain itu, ada pula hambatan yang bersifat kasuistis yang terjadi di lapangan dan membuat tugas KPK ini menjadi kurang efektif seperti sikap ego-sektoral yang masih muncul ketika KPK menjalankan tugasnya. Sikap ini ditunjukkan oleh para polisi dan jaksa yang keberatan lembaga baru seperti KPK bisa menjadi lebih tinggi dan mengatur mereka di kepolisian maupun kerjaksaan. Hal ini tentu saja tidak bisa dibiarkan, karena lama-lama dapat menyebabkan konflik antarinstitusi dan memperlebar jurang koordinasi. 

Dalam penanganan pemberantasan korupsi, diperlukan pihak-pihak yang bersinergi bersama sehingga disarankan ke depannya, pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK menekankan pada kerja sama kelembagaan yakni antara KPK dan Kepolisian, KPK dan Kejaksaan, dan ketiga lembaga secara bersamaan.

Sumber: 

  1. https://www.kpk.go.id/id/splash
  2. Laporan penelitian Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh ICW

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun