Mohon tunggu...
Vilya Lakstian
Vilya Lakstian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis adalah Dosen Linguistik di Jurusan Sastra Inggris dan Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, Akademi Bahasa Asing Harapan Bangsa, dan International Hospitality Center. Selain mengajar mahasiswa, dia juga mengajar untuk staff hotel, pelayaran, dan pramugari. Penulis adalah lulusan Pascasarjana Prodi Linguistik Deskriptif di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sarjana Sastra Inggris konsentrasi Linguistik di IAIN Surakarta. Penulis aktif dalam penelitian dan kajian sosial. Penulis juga sering menulis untuk media massa, dan penelitian untuk jurnal. Dalam berbagai kajian bahasa yang telah dilakukannya, linguistik sistemik fungsional menjadi topik yang sering dibahas dan dikembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penting, Merawat Kerukunan Beragama di Era Media Sosial!

25 Agustus 2016   18:53 Diperbarui: 25 Agustus 2016   18:58 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah sosial media itu pun sudah mengindikasikan harapan adanya keharmonisan, kerukunan, dan toleransi: perantara (kehidupan) sosial. 

Harus disadari bahwa dengan pengertian sosial media tersebut, masyarakat diharapkan turut menggerakkan perdamaian. Dengan beragamnya fitur yang ditawarkan, masyarakat sebaiknya semakin bijaksana. Para pengembang berusaha berinovasi agar media sosial dapat semakin hidup dan interaktif. Sehingga, kita sebagai pengguna dapat menggunakannya sebagai sarana yang informatif dan edukatif. Konten di dalamnya menjadi tanggung jawab kita juga.

Maka, sebarkanlah kebaikan. Perlu agar memperkuat kesadaran toleransi era media sosial. Media sosial mengingatkan kita bahwa dimanapun kita berada akan selalu berhubungan dengan orang lain. Jadi, sangat inspiratif ketika Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan tentang makna tepo seliro. Tepo seliro, menurutnya (seperti yang diberitakan oleh Kompas.com, 21/1/2015) adalah perpaduan antara toleransi dan tenggang rasa. Toleransi diartikan bagaimana kita bisa menjaga perasaan diri terhadap perbuatan orang lain di tengah kehidupan dalam lingkungan yang majemuk. Kemudian, tenggang rasa adalah kemampuan kita dalam menjaga perasaan orang lain atas perbuatan yang akan kita lakukan. Sikap ini harus diaplikasikan juga pada aktifitas media sosial. Mereka yang hidup di media sosial adalah manusia juga. Etika dalam kehidupan sosial dan masyarakat tetap berlaku.

Internet sebagai penghubung media sosial, terdapat 76% setuju bahwa keberadaannya memiliki manfaat yang baik untuk masyarakat, sedangkan 90% setuju bahwa manfaat itu baik untuk mereka secara pribadi (diadopsi dari survei oleh Pew Research Center Internet Project pada Januari 2014). Penggunannya yang dominan oleh pemuda, 70-76% menggunakan sosial media untuk berkomunikasi dengan keluarga, 72-81% dengan teman jauh, dan 55-65% dengan teman satu sekolah (Richardson dalam penelitian membandingkan mahasiswa senior dan baru, lihat Jurnal International Dialogues on Education, 2015).


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun