Sejarah transmigrasi dan industrialisasi gula di ujung timur pulau jawa.
Industri gula di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur, memiliki sejarah panjang yang tidak dapat dilepaskan dari masa kolonial Belanda. Di balik kejayaan komoditas tebu, terdapat campur tangan besar kekuasaan kolonial melalui kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel), pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api dan pelabuhan, serta mobilisasi tenaga kerja yang dalam beberapa hal menyerupai bentuk awal transmigrasi internal. Interaksi antara industrialisasi kolonial dan migrasi penduduk menciptakan dinamika sosial ekonomi yang membentuk wajah Tapal Kuda hingga kini.
Pada abad ke-19, Belanda menetapkan Jawa Timur sebagai salah satu sentra utama industri gula karena kesuburan tanah vulkaniknya, terutama di daerah Tapal Kuda seperti Jember, Bondowoso, Probolinggo, dan Situbondo. Dalam skema tanam paksa, petani dipaksa menanam tebu di lahan milik desa dan menyerahkannya kepada pemerintah kolonial atau perusahaan swasta Eropa yang mengoperasikan pabrik gula. Seiring waktu, kekurangan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan membuat pemerintah kolonial mulai mendorong perpindahan penduduk dari daerah padat ke wilayah perkebunan tebu. Proses ini, meskipun belum menggunakan istilah "transmigrasi", sejatinya adalah bentuk migrasi internal paksa yang terorganisir oleh negara kolonial.
Mobilitas penduduk ini didorong oleh kebutuhan industri. Daerah seperti Jember dan Bondowoso mulai dipadati oleh petani pendatang, baik dari Madura, Jawa Tengah, maupun daerah Mataraman (Jawa Timur bagian barat). Para pendatang ini bekerja sebagai buruh tebang tebu, pemanen, pengangkut, hingga operator di pabrik-pabrik gula yang mulai bermunculan sejak pertengahan abad ke-19. Sistem kerja yang diterapkan sering kali eksploitatif, tetapi memberi ruang bagi pembentukan komunitas baru yang menjadi bagian dari struktur sosial kawasan Tapal Kuda.
Untuk menunjang efisiensi produksi dan distribusi hasil gula, pemerintah kolonial membangun infrastruktur transportasi yang sangat strategis: jalur kereta api dan pelabuhan. Di Tapal Kuda, jalur kereta api kolonial mulai dibangun sejak akhir abad ke-19, seperti lintasan Jember--Panarukan dan Probolinggo--Bondowoso--Situbondo. Jalur ini bukan dibangun untuk mobilitas rakyat, tetapi sebagai sarana angkut utama hasil tebu dari ladang menuju pabrik dan kemudian dari pabrik ke pelabuhan. Di sinilah pelabuhan di pesisir utara seperti Panarukan (Situbondo), Kalianget (Madura, terhubung dengan pelabuhan kecil di Situbondo), dan Probolinggo memainkan peran vital sebagai gerbang ekspor gula ke pasar dunia.
Kereta api menjadi tulang punggung logistik industri gula. Lintasan sempit dibangun hingga ke tengah-tengah perkebunan untuk mengangkut batang tebu ke pabrik. Pabrik-pabrik seperti PG Olean dan PG Panji memiliki rel internal yang terhubung ke jaringan kereta kolonial. Setelah diproses, gula dikemas dan diangkut dengan kereta menuju pelabuhan terdekat untuk dikirim ke Batavia, Singapura, bahkan Amsterdam. Sistem ini menciptakan rantai pasok yang efisien, dan menempatkan Tapal Kuda sebagai simpul penting dalam ekonomi kolonial Hindia Belanda.
Infrastruktur ini juga berdampak sosial. Rel kereta memicu tumbuhnya permukiman baru, termasuk perkampungan buruh, pemukiman pendatang, serta pasar-pasar kecil di sepanjang jalur. Para transmigran atau pendatang tidak hanya tinggal di area pertanian, tetapi juga mulai membangun komunitas permanen di sekitar stasiun atau pabrik. Identitas sosial yang terbentuk mencerminkan perpaduan antara budaya lokal Madura, Jawa, dan kelompok etnis lain yang datang sebagai bagian dari mobilisasi tenaga kerja kolonial.
Namun, manfaat ekonomi yang ditimbulkan oleh pembangunan infrastruktur ini sangat timpang. Penduduk lokal dan para transmigran hanya mendapatkan bagian kecil dari keuntungan industri gula. Sebagian besar nilai tambah ekonomi dibawa ke Eropa, dan infrastruktur seperti rel kereta atau pelabuhan dibangun murni untuk kepentingan industri kolonial, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan, para transmigran sering kali dipaksa bekerja dalam sistem kerja yang keras, dengan kontrol ketat dari mandor Belanda maupun pribumi.
Setelah kemerdekaan, banyak jalur kereta api peninggalan Belanda masih digunakan, meskipun secara bertahap mengalami penurunan fungsi. Beberapa stasiun dan lintasan di Tapal Kuda kini menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu industri gula. Demikian pula, pelabuhan-pelabuhan kolonial sebagian besar telah berubah fungsi atau mengalami penurunan aktivitas. Meski begitu, jejak sejarah ini tidak hilang. Banyak komunitas transmigran atau keturunan buruh pabrik gula yang masih tinggal di sekitar area bekas rel, pabrik, atau pelabuhan, menjadikan warisan kolonial sebagai bagian dari identitas lokal mereka.
Industri gula di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, telah menjadi tulang punggung ekonomi regional sejak masa kolonial. Di balik geliat industri ini, terdapat dinamika sosial yang tidak kalah pentingnya, yaitu kehadiran para transmigran yang turut berperan dalam mengembangkan sektor pertanian tebu dan mendukung operasional pabrik gula. Hubungan antara industri gula dan transmigrasi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pembangunan nasional serta kebutuhan tenaga kerja dan lahan yang berkembang selama beberapa dekade terakhir.
Wilayah Tapal Kuda, yang meliputi kabupaten seperti Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Probolinggo, dan Lumajang, merupakan kawasan yang sejak lama menjadi destinasi program transmigrasi, baik yang berasal dari Pulau Jawa bagian tengah dan barat, maupun dari luar Jawa. Sejak era Orde Baru, pemerintah Indonesia gencar melaksanakan program transmigrasi untuk mengurangi kepadatan penduduk di daerah-daerah tertentu serta mengoptimalkan lahan pertanian di wilayah timur Indonesia, termasuk di Tapal Kuda. Program ini disambut oleh industri gula karena keberadaan transmigran menyediakan sumber daya manusia tambahan yang siap bekerja di perkebunan maupun pabrik-pabrik gula.
Transmigran di Tapal Kuda umumnya ditempatkan di wilayah perdesaan yang dekat dengan sentra produksi tebu. Mereka diberi sebidang lahan dan didorong untuk menanam tebu sebagai bagian dari sistem kemitraan dengan pabrik gula setempat. Dalam banyak kasus, transmigran menjadi mitra petani tebu yang menjual hasil panennya ke PG (Pabrik Gula) terdekat, seperti PG Semboro di Jember atau PG Panji di Situbondo. Kehadiran transmigran ini tidak hanya memperluas basis produksi gula, tetapi juga menciptakan pola pemukiman baru yang terintegrasi dengan sistem agribisnis lokal.
Dari sisi ekonomi, industri gula memberikan peluang kerja bagi transmigran, baik secara langsung sebagai buruh tani tebu maupun sebagai pekerja di sektor pengolahan. Banyak dari mereka yang mengandalkan musim giling sebagai masa panen pendapatan tahunan. Selain itu, pendapatan dari hasil kebun tebu dapat dimanfaatkan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka, membangun rumah, serta meningkatkan taraf hidup keluarga. Tidak sedikit keluarga transmigran yang kemudian mengalami mobilitas sosial ke atas karena keberhasilan mereka dalam sektor pertanian tebu.
Namun, hubungan antara industri gula dan transmigran tidak selalu harmonis. Dalam banyak kasus, transmigran menghadapi tantangan berupa keterbatasan akses modal, harga jual tebu yang fluktuatif, serta ketimpangan kekuasaan dalam hubungan kemitraan dengan pabrik. Mereka sering kali tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga tebu, dan sistem pembayaran yang lambat dari pihak pabrik dapat menyulitkan kehidupan sehari-hari mereka. Di sisi lain, sistem irigasi dan infrastruktur pendukung di wilayah transmigrasi juga sering tidak memadai, yang berdampak pada produktivitas lahan dan kualitas hidup.
Dari perspektif sosial budaya, kehadiran transmigran memperkaya keragaman etnis dan budaya di Tapal Kuda. Mereka membawa adat istiadat, bahasa, dan sistem sosial dari daerah asal yang kemudian mengalami akulturasi dengan budaya lokal Madura dan Jawa Timur bagian timur. Di beberapa desa transmigran, muncul harmoni sosial yang positif, tetapi tidak jarang pula terjadi ketegangan akibat perbedaan latar belakang dan kepentingan ekonomi. Peran industri gula dalam hal ini menjadi ganda: sebagai pemersatu melalui sistem kerja bersama, sekaligus sebagai potensi konflik bila distribusi hasil usaha tidak merata.
Industri gula juga berperan dalam membentuk struktur spasial wilayah-wilayah transmigran. Akses jalan, fasilitas umum, dan pembangunan pasar desa sering kali terfokus di sekitar areal industri gula. Transmigran menjadi bagian dari ekosistem ekonomi yang lebih besar, di mana aktivitas sehari-hari mereka terkait erat dengan jadwal tanam dan giling tebu. Hal ini menciptakan ketergantungan struktural yang kuat antara komunitas transmigran dan keberlangsungan industri gula. Ketika pabrik gula mengalami penurunan produksi atau bahkan ditutup, transmigran pun terkena dampaknya secara langsung.
Dalam beberapa dekade terakhir, keberlanjutan industri gula menghadapi tantangan besar, mulai dari efisiensi produksi yang rendah, persaingan dengan gula impor, hingga dampak perubahan iklim terhadap hasil panen tebu. Dampak ini terasa langsung di kalangan transmigran yang bergantung pada tebu sebagai sumber penghidupan utama. Banyak dari mereka yang mulai melakukan diversifikasi pertanian atau bahkan beralih ke sektor non-pertanian seperti perdagangan dan jasa. Di sisi lain, beberapa transmigran dan keturunannya berhasil menjadi pengusaha kecil di bidang transportasi tebu atau jasa penggilingan.
Pemerintah dan pihak swasta mulai menyadari pentingnya memperkuat posisi petani, termasuk transmigran, dalam rantai nilai industri gula. Program pemberdayaan petani, pelatihan teknis, serta akses permodalan mulai digulirkan untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian komunitas transmigran. Pendekatan ini penting agar transmigran tidak hanya menjadi pelengkap tenaga kerja murah, tetapi benar-benar terlibat dalam pengambilan keputusan dan mendapatkan manfaat ekonomi yang adil dari keberadaan industri gula.
Melalui refleksi sejarah dan dinamika saat ini, jelas bahwa industri gula memiliki peran besar dalam membentuk kehidupan sosial dan ekonomi komunitas transmigran di Tapal Kuda. Interaksi yang berlangsung selama puluhan tahun ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara industri besar dan kelompok masyarakat marginal yang bermigrasi dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Ke depan, keberhasilan pengelolaan hubungan ini akan sangat menentukan arah pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut.
Dalam kesimpulannya, industri gula di Tapal Kuda tidak hanya menjadi motor penggerak ekonomi lokal, tetapi juga menjadi bagian integral dari sejarah dan perjalanan hidup para transmigran. Mereka bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku aktif dalam transformasi wilayah ini menjadi sentra pertanian dan industri yang penting di Jawa Timur. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang menyangkut industri gula semestinya mempertimbangkan aspek kesejahteraan transmigran dan memberdayakan mereka sebagai mitra sejati dalam pembangunan daerah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI