Pukul 5 pagi, alarm berbunyi. Sari bangun, menyiapkan sarapan untuk anaknya yang TK, sambil mengecek obat hipertensi ayahnya yang harus diminum tepat waktu. Setelah mengantar anak ke sekolah, ia bergegas ke rumah orangtua untuk memastikan ibunya yang stroke sudah mandi dan makan. Sore harinya, setelah menjemput anak dari sekolah, ia kembali ke rumah orangtua untuk menemani makan malam dan memastikan mereka baik-baik saja.
Ini bukan cerita film drama Korea. Ini realita jutaan orang Indonesia yang terjebak dalam fenomena “Generasi Sandwich” - generasi yang harus mengurus anak kecil di satu sisi, sambil merawat orangtua yang menua di sisi lain.
## Siapa Generasi Sandwich?
Generasi Sandwich adalah mereka yang berusia 30-50 tahun, yang secara bersamaan harus membiayai dan merawat anak-anak mereka yang masih bergantung, sekaligus orangtua atau mertua yang mulai membutuhkan bantuan fisik, emosional, dan finansial.
Di Indonesia, fenomena ini semakin masif karena:
- **Kultur “sandwich”**: Anak diharapkan merawat orangtua hingga akhir hayat
- **Usia pernikahan yang lebih lambat**: Banyak yang baru punya anak di usia 30-an saat orangtua sudah berusia 60-an
- **Harapan hidup yang meningkat**: Orangtua hidup lebih lama tapi dengan berbagai penyakit degeneratif
- **Biaya kesehatan yang mahal**: Tidak semua keluarga punya BPJS atau asuransi yang memadai
## Beban Berlipat yang Tak Terlihat
### 1. Beban Finansial
“Gaji saya Rp 8 juta sebulan. Untuk anak sekolah dan les-les, habis Rp 3 juta. Orangtua butuh obat rutin dan kontrol dokter, minimal Rp 2 juta per bulan. Belum biaya hidup keluarga sendiri,” cerita Andi, karyawan swasta berusia 38 tahun.
Generasi sandwich sering terjebak dalam pola:
- **Tidak bisa menabung** karena semua income habis untuk dua generasi
- **Tidak berani investasi** karena khawatir butuh dana darurat
- **Menunda renovasi rumah** atau beli aset karena prioritas ke orangtua dan anak
- **Sulit planning pension** karena masih harus support orangtua sampai puluhan tahun ke depan