Mohon tunggu...
Langit Pemikiran
Langit Pemikiran Mohon Tunggu... Pemikir, Penulis

Peliharalah kebiasaan untuk tidak sekadar melihat permukaan, tetapi menggali lebih dalam tentang kehidupan, manusia, dan struktur sosial yang membentuk dunia, serta cobalah untuk memulai menyuarakan kegelisahan, keadilan, dan makna yang sering terabaikan dalam hiruk-pikuk dunia modern.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Disintegrasi Spiritualitas Dalam Relasi Romantis : Kritik Epistemologis Atas Fenomena Transaksi Iman Demi Cinta

4 Juli 2025   11:55 Diperbarui: 4 Juli 2025   11:55 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Fenomena pertukaran iman demi mempertahankan relasi romantis merepresentasikan salah satu bentuk krisis spiritualitas paling tajam dalam lanskap keberagamaan kontemporer. Dalam berbagai kasus yang muncul di masyarakat, terutama pada generasi muda urban yang hidup dalam iklim sekularisasi laten, iman tidak lagi diperlakukan sebagai landasan hidup eksistensial, melainkan sebagai variabel yang dapat dinegosiasikan sesuai dengan tuntutan emosional. Fenomena ini menunjukkan bukan hanya pergeseran nilai, tetapi juga pembusukan epistemologis dalam memahami makna iman dan cinta secara utuh.

Cinta yang dalam banyak teks-teks teologis dan tradisi spiritual diposisikan sebagai manifestasi kasih ilahi (agape), kini mengalami degradasi menjadi sekadar alat legitimasi terhadap keputusan-keputusan yang secara teologis problematik. Ketika individu memilih meninggalkan iman demi menjalin hubungan dengan pasangan yang berbeda keyakinan---atau bahkan berpindah agama untuk mengamankan status sosial dari relasi yang telah menghasilkan kehamilan di luar nikah---maka yang terjadi bukanlah tindakan kasih, melainkan bentuk reduksi nilai di mana spiritualitas ditransaksikan demi stabilitas emosi dan rasa aman sosial semu.

Situasi tersebut tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan merupakan produk dari sejumlah faktor logis dan sistemik. Pertama, lemahnya fondasi teologis akibat spiritualitas yang dikonstruksi secara seremonial dan tidak kritis menjadikan iman mudah goyah dalam tekanan psikososial. Ketika iman hanya diwariskan tanpa dialami, maka ia menjadi identitas yang rapuh, kehilangan daya tahan saat bersentuhan dengan realitas afektif yang kompleks. Kedua, romantisasi cinta dalam narasi budaya populer membentuk persepsi bahwa relasi emosional bersifat sakral, bahkan melampaui sakralitas iman itu sendiri. Dalam kondisi ini, cinta tidak lagi dikoreksi oleh iman, melainkan menjadi alat ukur terhadap validitas iman itu sendiri.

Ketiga, tekanan sosial---baik dari pihak pasangan maupun keluarganya---sering kali menempatkan individu dalam posisi moral yang dilematis, terutama dalam kasus kehamilan di luar nikah. Dalam upaya menyelamatkan martabat sosial, banyak yang kemudian memilih pernikahan lintas iman tanpa landasan refleksi spiritual yang memadai. Iman dalam hal ini diposisikan sebagai rintangan administratif, bukan sebagai kompas nilai. Keputusan tersebut, yang secara eksternal tampak sebagai "komitmen tanggung jawab," justru menyingkap adanya proses instrumentalisasi iman yang sangat dangkal dan pragmatis.

Secara sosiologis, ini merupakan gejala dari privatisasi religiusitas, yakni ketika agama ditarik sepenuhnya ke ruang personal dan kehilangan otoritasnya dalam mengarahkan relasi sosial. Implikasi lanjutannya adalah terbentuknya nalar spiritual yang permisif---di mana kebenaran teologis dianggap relatif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan emosional. Proses ini tidak bisa dilepaskan dari realitas pascamodern, yang secara sistemik mengaburkan batas antara yang profan dan sakral, serta melemahkan daya kritis individu terhadap makna hidup yang transenden.

Lebih dalam lagi, fenomena ini menunjukkan kegagalan dalam membedakan antara nilai yang bersifat temporal dan nilai yang bersifat eternal. Relasi romantis, yang hakikatnya bersifat dinamis dan rentan, tidak dapat menjadi dasar yang sah untuk menggantikan relasi vertikal manusia dengan Yang Ilahi. Ketika cinta mengharuskan pengingkaran terhadap iman, maka cinta itu telah kehilangan kesuciannya dan menjelma menjadi bentuk dominasi emosional yang dibalut dengan narasi kasih sayang. Ini adalah bentuk kekacauan etik dan spiritual yang serius, karena merusak integritas moral individu dan menggantikan orientasi teosentris dengan orientasi antroposentris.

Psikologis dari tindakan ini pun tidak berdiri netral. Rasa takut akan kehilangan, trauma penolakan, hingga ketergantungan emosional akut menjadi fondasi pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada refleksi rasional maupun spiritual. Dalam banyak kasus, keputusan berpindah iman demi pasangan justru tidak dilandasi oleh keyakinan teologis baru, melainkan oleh tekanan relasi, rasa bersalah, atau kepanikan akibat konsekuensi sosial dari tindakan yang telah terjadi. Dengan demikian, fenomena ini bukan sekadar bentuk transisi religius, tetapi dekonstruksi identitas spiritual yang berlangsung dalam suasana krisis.

Dalam kerangka teologi kritis, iman tidak pernah bisa dikompromikan tanpa kehilangan esensinya. Cinta sejati tidak akan pernah meminta seseorang untuk mengingkari relasinya dengan Tuhan. Sebaliknya, cinta yang sejati justru akan menuntun kepada pengudusan relasi, bukan pengorbanan spiritual. Oleh karena itu, praktik pertukaran iman demi cinta perlu dipahami sebagai simptom dari patologi spiritual modern, yang harus ditanggapi dengan pendekatan pastoral yang mendalam, disertai pendidikan iman yang menekankan pada kesadaran eksistensial dan rasionalitas teologis yang utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun