Mohon tunggu...
Averus Sina
Averus Sina Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa

Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FIA UI 2018. Pemerhati Kampus, Kebijakan Perpajakan maupun Sosial Politik di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Pajak Penghasilan dalam Transaksi E-Commerce

1 Januari 2019   21:12 Diperbarui: 1 Januari 2019   21:30 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Isu yang paling signifikan yang timbul dalam transaksi e-commerce untuk pajak penghasilan adalah yang berhubungan dengan yurisdiksi pemajakan dan karakterisasi penghasilan itu sendiri. 

Pada dasarnya setiap ada pembayaran ke luar negeri harus dikenakan PPh Pasal 26. Namun, bila Wajib Pajak Luar Negeri memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dan atas penghasilan yang didapatkan memiliki hubungan efektif dengan BUT tersebut, maka akan digolongkan sebagai laba usaha BUT.

Dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi e-commerce yang dilakukan perusahaan luar negeri kepada badan atau individu yang berdomisili di Indonesia, sangat penting untuk mengidentifikasi terlebih dahulu adanya Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau tidak. 

Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang PPh, mengindikasikan bahwa keberadaan di Indonesia ditunjukkan dengan adanya kehadiran fisik. Dengan demikian, apabila sebuah perusahaan luar negeri melakukan kegiatan usaha melalui website, maka kegiatan ini tidak menimbulkan suatu BUT. 

Dengan karakteristik usaha e-commerce, kehadiran BUT di dalam negeri tidak lagi diperlukan. Sementara itu subjek pajak luar negeri dapat melakukan usahanya di dalam negeri secara bebas.

Jika penjualnya dari luar negeri, tentu pemajakannya akan berbeda dengan penjual dalam negeri. Apalagi dengan kondisi bahwa untuk penghasilan selain yang diatur dalam PPh Pasal 26, pajak baru akan dikenakan jika terdapat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Atas kesulitan tersebut dan karena belum ada aturan secara internasional, maka pemerintah hanya fokus pada penjualan dalam negeri. 

Walaupun dalam UU PPh Pasal 2 (5) telah disebutkan bahwa salah satu penentu adanya BUT adalah dengan kehadiran server di negara sumber, namun dalam P3B yang berlaku saat ini belum diatur mengenai kehadiran server tersebut. Sehingga perlu diatur kembali definisi BUT dalam P3B yang berlaku saat ini. Namun, kendala yang dapat timbul dari penetapan sebuah server sebagai BUT adalah pemenuhan kewajiban administrasi yang harus dipenuhi oleh wajib pajak.

Bila hanya menempatkan sebuah komputer, sulit menentukan siapa nanti yang akan bertanggung jawab atas seluruh kewajiban pajak perusahaan dan dari segi material, bagaimana menentukan penghitungan laba BUT tersebut, karena sangat sulit membagi berdasarkan jenis penghasilan dan menghitung laba usaha dengan tidak adanya pembukuan. 

Selain itu, SPT yang ada selama ini belum mencakup hal-hal yang berkaitan dengan transaksi e-commerce seperti gambaran tentang situs yang digunakan untuk menerima order, produk apa yang dijual, jasa apa yang diberikan dan tata cara pembayarannya, nama dari perusahaan tempat situs ditempatkan, nama perusahaan yang menjadi mediator pembayaran, dan jumlah penghasilan bersih dari transaksi e-commerce yang tidak diberlakukan sebagai objek pajak. 

Dengan demikian, pihak otoritas pajak pun akan memiliki kesulitan untuk mengakses dan memeriksa secara detail mengenai transaksi-transaksi yang dilakukan melalui e-commerce ini.

Permasalahan lain yang juga didiskusikan adalah karakteristik penghasilan yang diperoleh dari transaksi-transaksi e-commerce. Umumnya, pembayaran lintas negara untuk penggunaan musik atau gambar-gambar dari internet, harus dikategorikan sebagai royalti.

 Seperti yang telah dibahas sebelumnya, dalam P3B (tax treaty) yang dipakai oleh Indonesia belum secara jelas mengatur mengenai penghasilan atas e-commerce tersebut. 

Pengenaan pajak atas e-commerce kepada Wajib Pajak luar negeri itu disebut-sebut dalam Undang-Undang PPh, yaitu diaturnya perangkat elektronik untuk menjalankan usaha secara elektronis (dedicated server) sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan adanya perluasan definisi royalti. Dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh definisi royalti ditambahkan dengan royalti yang berhubungan dengan kegiatan ecommerce yaitu:

  • Penerimaan atau hak penerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa
  • Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa.

Perluasan definisi royalti ini merupakan salah satu upaya agar perdagangan via elektronik atau e-commerce bisa dipajaki di Indonesia. Di samping itu, ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang PPh ini memberi dasar hukum yang lebih kuat dalam hal pengenaan PPh Pasal 26 atas berbagai jenis pembayaran royalti yang selama ini belum diatur secara tegas.

Namun demikian, bila ternyata transaksi itu terkait dengan penduduk dari salah satu treaty partner, maka pengenaan pajaknya harus memperhatikan tax treaty yang bersangkutan. Bila ternyata treaty tidak mengatur klausul royalti terkait dengan e-commerce, maka bisa jadi ketentuan itu tidak bisa diberlakukan kepada penduduk dari treaty partner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun