Selanjutnya, ketentuan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) diatur lebih lanjut dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021, yang mencakup pelaksanaan PPDB untuk jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Untuk memperjelas implementasi peraturan tersebut, diterbitkan pula Keputusan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek Nomor 41/M/2023 yang berisi Pedoman Pelaksanaan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Dalam pedoman tersebut, jalur pendaftaran PPDB Tahun Ajaran 2024/2025 dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: 1) jalur zonasi, 2) jalur afirmasi, 3) jalur perpindahan tugas orang tua atau wali, dan 4) jalur prestasi, sebagaimana dijelaskan dalam Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB Jawa Timur Tahun Ajaran 2024/2025.
Koordinasi pelaksanaan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dimulai dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui penerbitan Peraturan Gubernur (PerGub) No. 15 Tahun 2022. Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota Blitar yang menunjukkan antusiasme tinggi dalam implementasinya, sejalan dengan visi misi peningkatan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah Kota Blitar mengeluarkan Peraturan Walikota No. 3 Tahun 2022 sebagai perubahan dari Peraturan No. 8 Tahun 2021 tentang pelaksanaan PPDB untuk TK, SD, dan SMP Negeri. Sistem zonasi untuk PPDB SMP di Kota Blitar dibagi menjadi 3 zona berdasarkan kecamatan. Sosialisasi PPDB dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Blitar kepada wali murid di setiap SD. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai aturan dan tata cara pendaftaran PPDB online serta meminimalisir kegagalan dalam proses pendaftaran (Werdiningsih, 2020).
 Setelah mengkomunikasikan dan mengimplementasikan sistem zonasi, pada penelitian yang dilakukan Meritasari dkk (2024) Kota Blitar belum berhasil karena walaupun sudah diberlakukan sistem zonasi menggunakan daerah tempat tinggal, namun kualitas pendidikan yang mencakup kemampuan mengajar guru, fasilitas sekolah, dan lingkungan belajar masih mengalami kesenjangan. Salah satu bukti nyata dari dampak kebijakan zonasi terlihat pada pengalaman seorang peserta didik yang berdomisili di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, dan harus bersekolah di SMPN 6 Kota Blitar sesuai ketentuan wilayah zonasi. Selama mengikuti proses pembelajaran, siswa tersebut merasa materi yang disampaikan kurang sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Akibatnya, ia harus berusaha menyesuaikan diri dengan tingkat pemahaman teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya menurunkan semangat belajarnya dan membuatnya menjadi kurang termotivasi untuk mengikuti pelajaran.
 Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2019) menyebutkan bahwa ada seorang anak yang sekolah di salah satu SD favorit di Pekalongan. Ia hendak mendaftar di SMP yang selama ini menjadi impian sang anak akhirnya tidak dapat dimasuki karena jarak antara rumah dan sekolah tidak memenuhi ketentuan dalam sistem zonasi. Akibatnya, siswa tersebut gagal diterima di sekolah yang diinginkannya. Rasa kecewa yang mendalam membuatnya kehilangan motivasi dan bahkan nekat membakar seluruh piagam penghargaan yang telah ia kumpulkan selama ini. Kejadian ini menimbulkan reaksi negatif di tengah masyarakat, yang menilai bahwa kebijakan zonasi justru menambah beban dan kesulitan bagi warga, alih-alih memberikan kemudahan atau keadilan dalam akses pendidikan.
 Penerapan sistem zonasi di sisi lain menimbulkan dampak sosial berupa terbentuknya kelompok-kelompok siswa yang terbatas pada lingkungan tempat tinggal masing-masing. Kondisi ini memicu anggapan bahwa kebijakan zonasi justru mengikis semangat kebhinekaan. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa komposisi peserta didik di sekolah menjadi homogen, karena mayoritas berasal dari area sekitar sekolah saja. Sistem semacam ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip multikulturalisme atau kebhinekaan yang selama ini dikedepankan oleh pemerintah dan telah diintegrasikan dalam dunia pendidikan (Pradewi dan Rukiyati, 2019).
Tingkat efektivitas pelaksanaan PPDB sistem zonasi jenjang SMP dievaluasi menggunakan tiga indikator efektivitas dari Duncan dalam Rizal (2020), yaitu: 1) pencapaian tujuan, 2) integrasi, dan 3) adaptasi. Dari segi pencapaian tujuan, pemerataan kualitas pendidikan SMP di Kota Blitar masih belum optimal, karena peserta didik berprestasi masih terpusat di SMPN 1 Blitar yang dikenal sebagai "sekolah favorit. Dukungan sarana dan prasarana, seperti pengadaan komputer baru untuk menunjang pelaksanaan PPDB berbasis zonasi, belum dapat dipenuhi karena keterbatasan anggaran (Meritasari dkk, 2024).
 Dengan dampak negatif saat implementasinya, sistem zonasi juga masih memiliki dampak positif. Dampak positif dari adanya sistem zonasi yakni menguntungkan siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah, hal ini akan berdampak positif terhadap biaya yang lebih murah dan waktu yang ditempuh siswa lebih singkat untuk berangkat dan pulang sekolah. Kemudian akses pendidikan yang mudah membuat dana yang ada di pemerintah dapat dialokasikan lebih pada penyediaan fasilitas dan kebutuhan sekolah lainnya. Diskriminasi sekolah berdasarkan favorit atau unggulannya juga semakin berkurang karena anak-anak yang ada di tiap sekolah beragam kemampuannya (Widyastuti, 2020).
 Dari dampak yang dirasakan tersebut, penulis menilai bahwa saat ini lebih banyak dampak negatif yang dirasakan masyarakat daripada dampak positifnya. Terbukti dari efektivitas yang belum mumpuni, implementasi yang tidak dibarengi dengan pemerataan fasilitas sarana prasarana pendidikan sehingga mendapat banyak penolakan. Penulis menilai bahwa sistem zonasi belum mampu menjadi solusi untuk pemerataan pendidikan sebelum dilakukannya pemerataan kemampuan guru, fasilitas dan sarana prasarana sekolah sudah tercapai dengan maksimal. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Liu (2017) yang menyebutkan baik jumlah dana maupun jumlah guru memang menyebabkan banyak ketidaksetaraan di sekolah yang berbeda. Artinya, keberadaan sarana prasarana sekolah memiliki kontribusi terhadap pemerataan kualitas sekolah.
Kesenjangan pendidikan tidak akan hilang jika hanya memberlakukan sistem zonasi berdasarkan wilayah. Solusi dari permasalahan ini harus dilakukan dari akar yang paling dasar, yakni internal sekolah yang perlu diperbaiki secara massif. Hal ini tentu saja lebih rumit untuk dilakukan, sehingga pemerintah terkesan mengambil "jalan aman" dengan pemberlakuan sistem zonasi ini. Reformasi pendidikan besar-besaran harus dilakukan, namun sistem zonasi belum bisa menjadi solusi yang sesuai (Tilaar, 2003).
KESIMPULAN
Sistem zonasi pada implementasinya menghasilkan dampak baik positif dan negatif. Di Kota Blitar sistem zonasi belum berhasil karena walaupun sudah diberlakukan sistem zonasi menggunakan daerah tempat tinggal, namun kualitas pendidikan yang mencakup kemampuan mengajar guru, fasilitas sekolah, dan lingkungan belajar masih mengalami kesenjangan. Pemberlakuan sistem zonasi di sisi lain membuat masyarakat menjadi terkelompok dalam lingkungannya masing-masing. Hal inilah yang membuat zonasi dipandang merusak kebhinekaan.