Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Allah "Melihat"Manusia dalam Alam

4 Maret 2021   13:58 Diperbarui: 4 Maret 2021   22:36 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Pengantar


Saya memberi judul tulisan ini “Allah “Melihat” Manusia dalam Alam”. Kalau dilihat dari pola penyusunan kalimatnya, kalimat ini tersusun demikian: Allah: subjek, melihat: predikat, manusia: objek, dan dalam alam: keterangan tempat. Saya sengaja membubuhi tanda petik sebelum dan sesudah kata “melihat”. Alasannya, kata “melihat” di sini adalah sebuah metaforis. Saya menggunakan kata metaforis, lantaran saya belum tahu pasti, apakah Allah memiliki mata seperti manusia. Sebab, dalam tataran indrawi manusia, melihat selalu menggunakan mata. Saya berusaha menggunakan fenomena manusiawi untuk menjelaskan ke-Mahakuasa-an Allah. Thomas Aquinas menyebut cara ini dengan istilah analogia entis.

Frase “Allah melihat” mau mengatakan ke-Mahakuasa-an Allah. Ia mampu melihat segala sesuatu. Di hadapan Allah tidak ada yang tersembunyi. Dalam bahasanya  Armada Riyanto, Allah adalah segalanya dan semuanya. Ia memungkinkan segala apa yang ada ini tercipta. Tidak ada ciptaan di luar kehendak Allah (MM, 22). Itu artinya, kata “melihat” di sini melampaui artinya yang indrawi.

Manusia adalah subjek yang “dilihat” oleh Allah. Karena subjek terlihat, manusia selalu memiliki keterbatasan. Bisa dikatakan, manusia itu selalu “diawasi” oleh Allah. Keterbatasan yang paling nyata antara lain keterbatasan dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu di sini terutama merujuk pada alam (bumi), tempat di mana  manusia hidup. Tidak ada manusia yang hidup di luar alam. Jadi, “Allah “melihat” manusia dalam Alam” adalah sebuah ringkasan akan sebuah sejarah. Antara Allah, manusia, dan alam selalu berjalan (bersejarah) bersama-sama. Dalam perjalanan itu terjadi relasi antara ketiganya.

Manusia Hidup dalam Alam


Kehadiran manusia, alam, dan tentang keberadaan Tuhan menjadi misteri besar dalam sejarah peradaban umat manusia. Apakah manusia? Apakah Tuhan? Siapakah yang membentuk alam? adalah beberapa pertanyaan besar filsafat yang jawabannya belum tuntas hingga hari ini. Manusia dihidupi oleh alam, namun cenderung memiliki keyakinan akan Yang Transenden. Hidup manusia tergantung sepenuhnya pada alam, pada saat yang sama, malah manusia sendiri yang merusak alam.


Manusia itu dikatakan manusiawi, hanya ketika ia dilahirkan dan hidup di dalam alam.  Tidak ada manusia yang dilahirkan dan hidup di luar alam. Sekali lagi, alam di sini selalu merujuk pada bumi. Sejauh manusia itu hidup, ia melulu tergantung pada alam. Alam tidak pernah membuat tarif untuk setiap oksigen, air, makanan yang dinikmati oleh manusia setiap saat. Lalu, apa untungnya kehadiran manusia bagi alam? Kehadiran manusia tidak membawa keuntungan apa-apa bagi alam. Sebab, alam dihidupi oleh dirinya sendiri. Ia tak tergantung pada manusia.


Sebaliknya, manusia hanya memakai, memanfaatkan, dan cendrung menghancurkan alam. Sedikit sekali dari manusia yang memiliki kesadaran untuk merawat alam. Armada Riyanto meyebut perilaku tidak merawat alam sebagai tindakan memperkosa alam (MM, 30). Pernyataan ini mau mengatakan bahwa tindakan merusak alam adalah sebuah kejahatan besar yang lebih dari sekadar mencuri atau merampok. Di bagian lain, Armada Riyanto juga melukiskan dengan indah tentang apa itu alam, beliau mengatakan:

Alam memang sungguh indah. Ia indah karena kehadirannya yang nyata. Alam indah dalam tatanan pemandangan gunung yang menjulang atau bukit yang landai atau luas sawah yang menghijau permai atau telaga biru dan jernih atau aliran sungai yang gemercik. Ia juga indah dalam kehadiran pohon rindang, bunga-bunga yang kuncup atau mekar, rerumputan yang tebal hijau (MM, 39).

Kesemuanya ini adalah keindahan sekaligus “suara” yang menemani manusia dalam hidupnya. Dalam hidupnya, manusia hendaknya “mendengarkan” alam. Menurut Armada Ryanto, alam memiliki perspektif kedirian yang harus didengarkan (MM, 31). Alam memiliki nilai, suara, bisikan, dan kearifan yang harus digali dan disimak (MM, 31). Pergantian musim, keindahan alam, termasuk bencana alam adalah realitas alam yang sedang “berbicara” kepada manusia.
Bencana alam di sini tidak dimengerti sebagai perbuatan Allah yang memusnahkan. Maksud saya, bencana alam dilihat sebagai sebuah “teguran keras” dari Allah terhadap keberdosaan manusia. Di sini akan dipahami, bahwa sesungguhnya bencana alam adalah konsekuensi langsung dari tindakan merusak alam. Merusak alam dengan sendirinya adalah perbuatan dosa. Bencana alam dengan demikian adalah itu yang merusak kehidupan sekaligus yang “mendidik” manusia dalam merawat alam. Dinamika alam yang demikian sesungguhnya sedang membantu akal budi manusia untuk menerobos kepada kepada Dia yang menyebabkan alam.


Itulah yang dinamakan sebuah relasi. Alam memberikan dirinya kepada manusia serta “berbicara” tentang Dia –Yang menyebabkan alam- kepada manusia. Dan manusia memiliki kewajiban untuk merawat alam serta berhak memperoleh sedikit “informasi” tentang Dia yang menyebabkan alam, yakni Allah. Saya mengatakan sedikit “informasi’ tentang Allah, karena memang akal budi manusia tidak mampu mengenal semuanya tentang Allah. Alam dalam hal ini seolah membantu manusia untuk mengenal dan mencintai Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun