Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sayang Indonesia

17 Agustus 2020   15:07 Diperbarui: 18 Agustus 2020   05:14 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Teman-teman, kali ini saya ingin menulis untuk tanah air tercinta, Indonesia. Kalian semua tahu, hari ini adalah ulang tahun kelahiran RI ke-75 tahun. Apakah kalian merayakannya atau tidak? Saya tidak peduli! Bagi saya, merenungkan hari ulang tahun RI tidak sebatas mengupdate foto selfie dengan atribut merah-putih. Perayaan seperti  ini terkesan narsistik. Di samping ada motivasi show off, kecenderungan ceremonial semacam ini tidak akan memberi kontribusi apa-apa bagi NKRI. Negeri ini tidak dibangun dengan keringat lomba tarik tambang, tetapi dengan keringat medan perang.

Kita semua tentu saja punya cara dan gaya berbeda dalam merayakan hari ulang tahun RI. Saya tidak peduli perbedaan gaya perayaan, asalkan gaya itu benar-benar ungakapan rasa sayang akan Indonesia. Para politisi diharapkan punya gaya perayaan yang lebih refleksif. Perayaan yang refleksif memaksudkan aktivitas merenung tentang masa lalu. Para politisi harus mampu melakukan 'ziarah batin' ke masa lalu negeri ini.  Ziarah ke masa lalu bukan sebuah nostalgia akan kesuksesan politik saja. Lebih dari itu, refleksi yang baik adalah pengakuan akan kesalahan-kesalahan politik masa lalu. Aktivitas yang demikian diharapkan mampu mengadakan proyek politik masa depan yang lebih jujur. Praksis politik yang jujur tentu saja selalu mengutamakan kebaikan bersama (Bonum Commune) di atas kepentingan kelompok sang politisi. Momen ulang tahun kelahiran RI adalah kesempatan mencari siasat politik untuk setidaknya mengurangi tendensi KKN, fundamentalisme agama, penyebaran ujaran kebencian, rasisme, retorika ruang publik manipulatif dst. Saya sendiri benci dengan ceremony yang tidak refleksif.

Saya mengusulkan gaya perayaan yang demikian kepada para politisi karena mereka punya akses politik yang strategis untuk memperbaiki masa depan negeri ini. Masyarakat sipil tentu saja tidak bisa berbuat banyak. Kepentingan seluruh masyarakat Indonesia selalu diwakili oleh para politisi, tidak boleh tidak! Masa depan negeri ini ada di tangan mereka. Bila para politisi memanfaatkan hari ini sejauh pencitraan, maka, sebetulnya mereka tidak sedang merayakan ulang tahun RI. Mereka lebih hadir sebagai penjilat yang sedang mencari uang. Mereka tidak sayang Indonesia!

Saya tidak memaksa masyarakat biasa untuk merayakan ulang tahun RI dengan berpikir keras tentang ideal masa depan politik negeri ini. Petani, buruh, sopir dan tukang ojek tentu saja tidak bisa dipaksa untuk berpikir keras tentang proyek politik masa depan. Mereka hanya diharapkan untuk bisa menjadi warga negara yang baik. Sebab, mereka tidak punya akses kekuasaan yang strategis. Kepentingan mereka sudah dipercayakan kepada para politisi. Perayaan yang baik bagi masyarakat sipil adalah dengan semakin berusaha menjadi warga negara yang tidak fundamentalis dan rasis. Saya sendiri tidak punya kapasitas di ranah politik praksis. Oleh katena itu, saya hanya bisa berdoa untuk para politisi agar mereka bisa bekerja untuk kepentingan semua warganya. Kita yang tidak punya kapasitas langsung di ranah politik praksis hanya bisa merayakan ulang tahun RI dengan mempersembahkan sebuah karya di bidang kita masing-masing. Dan, karya tersebut diharapkan selalu mengusung kebenaran, kebaikan dan kemanusiaan ketimbang sensasionalitas.

Pemusik bisa saja membuat lagu untuk menyerukan sumbangsi politiknya. Para penulis bisa saja membuat sebuah artikel tentang kecintaannya akan pluralitas keindonesiaan. Mahasiswa bisa saja menjadi orang jujur dengan tidak menjadi pelagiat. Dan, pengangguran harus menjadi warga negara yang tidak putus-asa dalam mencari kerja. Pokoknya, kita tidak boleh menjadi warga negara yang pengecut sa to, hehehe. Kita perlu memanfaatkan personal-passion untuk sesuatu yang bermanfaat bagi negeri ini. Buat sesuatu yang sederhana, tetapi bermanfaat dan tidak perlu terlalu mengharapkan apresiasi to! hehe

"Sayang Indonesia" sebetulnya ungkapan rasa sayang penulis kepada negeri ini. Akhir-akhir  ini, kita sedang diserang wabah virus Covid 19. Berhadapan dengan malapetaka ini, media menghadirkan pro-kontra di antara beberapa pihak elite terkait fenomena yang bernama wabah Corona, sebutlah demikian. Ada pihak tertenu yang amat yakin kalau corona tidak lain adalah produk konspirasi orang-orang tertentu untuk meraup keuntungan kapitalis sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, ada beberapa pihak yang melihat wabah ini sebagai murni virus tanpa dikontrol oleh kepentingan ideologis kelompok tertentu.

Teman-teman, saya sendiri tidak berpihak pada salah-satu dari kedua ekstrem di atas. Selain karena saya belum mengadakan studi yang ketat atas asal-usul Covid 19, saya juga bukan tipe orang yang mudah dikontrol oleh sensasionalitas yang tawarkan media. Banyak media di Indonesia yang lebih mengutamakan sensasionalitas ketimbang substansialitas. Yang sensasional lebih potensial mendatangkan keuntungan yang melimpah ketimbang yang edukatif. Yang diharapkan sekarang sebetulnya adalah siasat agar pro-kontra pihak tertentu di kalangan elite tidak memecah-belah masyarakat 'akar-rumput'. Tidak ada yang pro kelompok ini dan kontra atas kelompok yang lain. Kita semua diharapkan mampu bersatu menghadapi wabah corona.

Yang jelas, banyak kematian akibat diagnosa terserang virus ini. Kita perlu waspada tetapi tidak boleh panik. Di momen ulang tahun RI yang ke -75, "Sayang Indonesia" berarti punya kesadaran kritis bahwa politik in se berkaitan dengan tata hidup bersama, bukan retorika sensasional pihak-pihak elite tertentu. Kita harus menjadi kritis atas setiap retorika dan berita yang manipulatif. Sebagaimana hari raya ulang tahun adalah momen di mana kita merenungkan susah-payahnya ibu kita mengandung dan melahirkan kita. Demikianpun hari ini, kita diharapkan sedikit mengambil waktu sendiri untuk merenungkan betapa susah-payahnya para pendiri negeri ini memperjuangkan kemerdekaan negeri ini di beberapa puluhan tahun yang lalu. Kita merayakan ulang tahun tanah air yang sedang sakit akibat corona. Kita juga perlu berdoa banyak.
Love you Indonesiaku.

Oleh: Venan Jalang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun