Pernah ketemu orang kepedean banget? Rasanya sebel-sebel gimanaa gitu. Rasanya pengen disetrap, digelitikkin, atau dicabutin bulu-bulunya. Hanya, sayangnya, manusia bukan ayam yang bulu-bulunya bisa untuk sulak (alat pengebas debu) atau domba yang bulu-bulunya bisa untuk wol. Dan, sayangnya lagi, sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukkan manfaat dari penggunaan bulu manusia. Hloh kok jadi ngomongin bulu?
Meminjam istilah Tukul, kembali ke laptop, PD atau percaya diri dalam istilah psikologi merujuk pada self esteem. Istilah ini menjelaskan tentang kepercayaan seseorang tentang seberapa berharga dirinya (worth/value). Perasaan bahwa dirinya berharga tidak berhubungan dengan kompetensi, kekayaan, atau kualitas dan kuantitas lainnya yang dimiliki individu. Perasaan ini menunjukkan bahwa individu secara garis besar yakin akan yang dia rasakan, pikirkan, dan lakukan adalah benar adanya.
Wuih, keren banget ya kalau semua yang dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan selalu benar. Pasti orang itu sudah ahli sekali ya. Tapi tunggu dulu, penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang bukan ahli dibidangnya cenderung menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi (high confidence) dibandingkan para ahli (Svenson, 1981; Weinstein, 1980). Hloh harusnya kan kalau sudah ahli justru lebih PD. O belum tentu. Orang yang dapat disebut ahli justru cenderung tidak menunjukkan rasa percaya diri yang berlebihan dibidang yang dikuasainya (Murphy dan Winkler, 1984; Camerer, 1995).
Lalu kenapa orang yang yang bukan ahli bisa sangat PD? Nah, ini dia yang menarik. Hal pertama adalah karena alasan yang logis tapi responnya yang salah dan yakin sekali dengan hal itu (Erev, 1994). Misalnya tentang stereotip, ada orang-orang, yang misalnya, dapat dengan sangat yakin bertindak atau memperlakukan orang lain hanya dengan mendasarkan pada stereotip. Tidak ada yang salah dengan stereotip. Ini dapat digunakan sebagai informasi awal dalam bersosialisasi. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita dapat menghakimi atau bertindak semena-mena terhadap orang lain dengan hanya mendasarkan pada stereotip semata.
Rasa percaya diri tinggi juga dapat dihasilkan dari ilusi yang didapat dari proses/metode pengumpulan informasi yang salah (Gigerenzer dkk, 1991; Juslin, 1994). Kalo ini ga usah jauh-jauhlah: gosip, digosok makin sip. Salah seorang yang saya kenal, mungkin karena tiap hari mengkonsumsi acara-acara gosip ditelevisi, pernah mengomentari salah satu selebritis, "Udah jangan ditutup-tutupin. Itu kan informasi publik." Salut sekali dengan acara-acara gosip, yang dengan suksesnya membalikkan privasi atau hak individu hingga kini sudah menjadi 'hak publik'. Jika memang demikian halnya, saya usul agar koruptor-koruptor juga dimasukkan ke acara gosip ditelevisi. Karena jelas itu adalah hak publik, bukan privasi. Dan menurut saya lebih seru untuk melihat kemana saja larinya uang hutang yang harus dibayar rakyat.
Tingkat PD yang tinggi juga dapat disebabkan oleh proses berpikir yang bias karena jawaban yang intuitif atau terlalu cepat mengambil kesimpulan yang kemudian diucapkan atau dilakukan dengan cara yang salah (Kahneman dan Tversky, 1996). Nah, kalau ini ga usah jauh-jauh deh. Mas Vicky dengan segala istilah-istilahnya yang mengguncangkan dunia persilatan bahasa itu. Kalau dilihat dari kata-kata yang diambil, kemungkinan dia mengambil istilah-istilah tersebut dari lingkungan sosial dan kelihatannya dia tidak mengolah lebih lanjut atau mencari tahu apa arti dan kapan penggunaan yang tepat dari kata-kata tersebut. Lalu terjadilah labil bahasa ya gitu deh itu..
Orang-orang yang menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi itu belum tentu benar-benar memiliki PD tinggi loh. Kalau dilihat dari sisi mekanisme pertahanan diri, bisa saja orang ini sebetulnya tidak terlalu PD, minder, atau penakut. Tapi untuk menutup-nutupi hal itu, orang tersebut dapat menunjukkan hal yang sangat berkebalikan, yakni menjadi sangat PD. Hal ini disebut reaksi formasi.
Hal lain yang juga dapat menjadi sumber tingginya PD seseorang adalah adanya orang lain atau individu berada dalam suatu kelompok (1). Dengan adanya orang lain atau jika individu berada dalam kelompok (2), maka identitas individu akan melebur dengan identitas orang lain atau identitas kelompoknya. Hal ini menyebabkan individu melakukan hal yang sebenarnya, jika ia harus melakukannya sendiri, tidak berani atau takut dilakukan. Contohnya deh, pernah liat ada orang ngegodain orang yang nggak dikenalnya sendirian? Kalau itu jarang sepertinya. Atau contoh ekstrimnya adalah amuk massa atau tawuran. Atau bisa juga mas-mas FPI itu deh. Coba kalau dia sendiri, nggak bawa-bawa nama FPI dsb, berani nggak dia teriak-teriak atas nama agama. Atau, kalau berani, demo korupsi dsb. Kenapa yang didemo sesama rakyat kecil? Karena berada dalam kelompok, individu sangat yakin akan perilakunya, meski ekstrim sekalipun, sehingga dapat melakukan hal-hal yang anarkis.
Namun, disisi lain, orang yang kelihatannya tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi, belum tentu benar-benar minder. Sebagaimana telah disebutkan diawal tulisan ini, para ahli cenderung tidak menunjukkan rasa percaya diri yang berlebihan. Hal ini berhubungan dengan efikasi diri. Efikasi diri adalah keyakinan akan kemampuan atau keterampilan yang dimiliki oleh individu. Dengan demikian, hal ini tidak berhubungan dengan semua aspek dalam hidup individu, tapi hanya pada aspek atau aspek-aspek tertentu yang terkait dengan keahlian individu. Jadi, tidak selamanya orang yang PDnya tinggi itu benar-benar PD. Sebaiknya dilihat dulu latar belakang, konteks perilaku, dsb karena siapa tahu ada udang dibalik bakwan..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI