Mohon tunggu...
Varhan AZ
Varhan AZ Mohon Tunggu... Auditor - Penyemangat

Beneficial #ActivistPreneur

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bergaul dengan Negara Beda Ideologi

21 Agustus 2017   09:42 Diperbarui: 21 Juli 2020   10:11 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BERGAUL DENGAN NEGARA BEDA IDEOLOGI

Oleh : Varhan Abdul Aziz

Alumni Magister Ketahanan Nasional - Universitas Indonesia

Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial), sedangkan adam smith mendefinisikan manusia sebagai homo homini socius (makhluk yang bersahabat). Dalam entitas yang lebih luas, pada skala makro, negara sebagai aktor dalam Hubungan Internasional memiliki karakteristik yang sama seperti karakter individu - individu didalamnya. Negara butuh bersosialisasi dan bersahabat dengan negara lainya.

Terdapat syarat berdirinya sebuah negara, yaitu, keberadaan rakyat, kepemilikan wilayah, adanya pemerintah, dan terakhir, pengakuan dari negara lain. Pengakuan ini berupa pengakuan de- facto dan de- jure. Sebagai contoh, de facto indonesia merdeka 17 agustust 1945 setelah proklamasi RI, Mesir & Arab Saudi menjadi negara pertama yang mengakuinya (Azra, 2017). De Jure, Belanda menyerahkan kedaulatan pada Indonesia 27 Desember 1949.

Sebelum tahun 2005, belanda masih menganggap 27 Desember sebagai hari kedaulatan Indonesia. Setelah 60 Tahun kemerdekaan RI, barulah belanda mengakui 17 Agustust 1945 sebagai hari merdeka negeri ini. Sebenarnya, diakui atau tidak oleh Belanda, Indonesia tetap sudah merdeka. Namun, tentunya pengakuan negara lain menjadi kunci kekuatan sebuah negara dalam pergaulan internasional. Indonesia sebagai warga dunia harus bersosialisasi dengan tetangganya di seantero bumi.

Bila dianalogikan, tidak semua tetangga memiliki sifat yang sama, ada yang baik, buruk, lembut, periang, ceria kaku dan lain sebagainya. Begitupun negara, ideologi diibaratkan sebagai karakter negara. Ada sosialis, liberalis, komunis, monarkis, demokratis dll. Indonesia sebagai negara pancasilais memiliki keseimbangan sifat negara demokratis, dengan kebebasan yang teratur, dan konsep peran pemerintah yang ideal untuk memastikan kesejahteraan secara merata.

Pertanyaanya, karena tragedi G30SPKI puluhan tahun lalu, apakah indonesia harus menjauh dari negara penganut komunisme, dan hanya bergaul dengan negara liberal-demokratis? Tentu tidak. Menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi, komunisme adalah ideologi terlarang di negeri ini. Sebuah bahaya laten yang tidak bisa dibiarkan keberadaanya. Namun dalam konteks kerjasama antar negara, pertimbangan sebuah hubungan diplomatik dibuat lebih kepada bagaimana masing - masing negara bisa mendapatkan mutual adventages dari kekerabatan yang diciptakan. Bukan saling mempengaruhi secara ideologi.

Sebagai contoh, Indonesia bekerjasama dengan cina dalam bidang ekonomi, perdagangan serta pembangunan. Tentunya kita tidak memerlukan kerjasama tersebut, bila cina yang nyatanya berpaham komunis sekedar mentransfer ideologinya disini. Kita tidak perlu itu. Begitupun kerjasama dengan Jepang dalam berbagai bidang, bukan berarti kita menerima ideologi hakko ichiu mereka untuk diterapkan di negara ini.

Lalu bagaimana dengan amerika serikat dengan sistim kapitalismenya? Kita menjalin hubungan diplomatik dengan mereka bukan untuk menjadi negara liberal. Dalam Hubungan Internasional, manfaat hubungan antar negara mengarahkan sebuah negara untuk mencapai stabilitas, keuntungan, kesejahterahan rakyat, jaminan keamanan, menghindarkan dari krisis sampai dukungan pertahanan dan menghindari terjadinya peperangan. Karena damai itu indah, indonesia harus terus berkomunikasi baik dengan setiap negara manapun.

Hari - hari ini kita dipanaskan dengan berita kedatangan Sekjend Partai Komunis Vietnam yang akan disambut secara resmi oleh Pemerintah Indonesia. beberapa awam berspekulasi langkah tersebut dapat melahirkan kembali laten komunis di negeri ini. Agaknya pandangan tersebut jauh dari benar. Pada tahun 2013, presiden SBY pernah menerima kunjungan dari delegasi sekertaris partai komunis Cina. sebagai negara yang bertata krama, Indonesia wajib menyambut niat baik dalam kunjungan tersebut sebagai suatu hal normal dalam pergaulan dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun