Mohon tunggu...
Vargas Alfredo Henyo
Vargas Alfredo Henyo Mohon Tunggu... Pelajar

CC 26 'amdg

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Refleksi Negeri yang Dihantui Krisis Etika dan Kepercayaan

1 Oktober 2025   12:50 Diperbarui: 1 Oktober 2025   12:50 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nnc-media.netralnews.com/2025/04/IMG-Netral-News-User-5999-FB40X21D3M.jpg 

Pernah nggak sih kalian merasa negeri ini seperti kehilangan arah? Pemimpin sibuk saling menyalahkan, rakyat makin bingung mau percaya siapa, dan setiap masalah terasa seperti drama yang terus diulang-ulang. Padahal, dulu kita punya cita-cita besar --- jadi bangsa yang adil, jujur, dan beretika. Tapi sekarang, nilai-nilai itu seperti cuma jadi hiasan dalam pidato, bukan sesuatu yang benar-benar dipegang teguh.

Budiman Tanuredjo dalam tulisannya Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati menyentil kenyataan ini. Ia bilang, sumpah jabatan yang diucapkan para pejabat sekarang seolah hanya formalitas, diucapkan saat pelantikan, tapi dilupakan begitu kursi empuk diduduki. Padahal, sumpah itu bukan sekadar janji di depan kamera, melainkan komitmen moral untuk bekerja demi rakyat dan menegakkan keadilan. Etika berbangsa yang dulu dirumuskan MPR pun kini seperti tinggal tulisan, tanpa makna nyata dalam tindakan.

Masalahnya, krisis etika ini nggak cuma berhenti di dunia politik. Editorial Tempo berjudul Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal juga memperlihatkan hal serupa. Kasus pagar laut di Banten yang jelas-jelas bermasalah malah ditangani dengan lamban. Bukannya kompak, para pejabat malah sibuk saling lempar tanggung jawab. Rakyat jadi makin nggak percaya pada hukum dan pemerintah. Lama-lama, wajar kalau muncul anggapan bahwa hukum cuma tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Tapi persoalan bangsa ini bukan cuma soal pemimpin. Seperti yang ditulis F. Rahardi dalam Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu, masyarakat kita juga sering terjebak dalam ketakutan yang nggak masuk akal. Ia mencontohkan bagaimana orang bisa panik hanya gara-gara ulat bulu, padahal hewan itu sama sekali nggak berbahaya. Menurut Rahardi, ketakutan semacam ini menggambarkan bangsa yang mudah panik, kehilangan nalar sehat, dan gampang terbawa arus ketakutan massal.

Kalau dipikir-pikir, bukankah ini mirip dengan keadaan kita sekarang? Pemerintah takut kehilangan dukungan, rakyat takut bersuara, media takut memberitakan kebenaran. Kita semua seolah hidup dalam "fobia nasional" --- takut pada kebenaran, takut berubah, dan takut bertanggung jawab.

Dari tiga tulisan itu, ada satu pesan penting: kita sedang menghadapi krisis yang lebih besar dari sekadar masalah ekonomi atau politik. Ini soal kehilangan arah moral. Ketika sumpah jabatan dilupakan, hukum bisa ditawar, dan rakyat kehilangan kepercayaan, maka bangsa ini sedang berjalan tanpa kompas nilai. Seperti kata Budiman, mungkin kita butuh "muazin baru" --- sosok yang berani menyerukan kebenaran di tengah sunyinya moralitas.

Sudah waktunya kita berhenti saling menyalahkan. Pemimpin perlu kembali pada etika, rakyat harus berani berpikir kritis, dan kita semua perlu menumbuhkan lagi kepercayaan satu sama lain. Sebab tanpa etika dan kepercayaan, negeri ini hanya akan jadi "republik hantu" --- kelihatan hidup, tapi sebenarnya kehilangan jiwa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun