Pagi yang cerah selalu mendatangkan keceriaan bagi semua makhluk yang menginjakkan kaki di bumi ini. Semangat untuk melakukan kegiatan apapun. Hijaunya pepohonan yang disinari lembut sang mentari, sigapnya para semut untuk mengumpulkan makanan, sibuknya kupu-kupu menghinggapi bunga-bunga di taman, dan sangat riang hatiku menunggu sebuah keajaiban. Keajaiban yang sudah lama tidak kurasakan, semenjak sang Kanan meninggalkanku.
Aku adalah sebuah sepatu kiri. Aku sudah lama terperangkap di tempat asing yang tak ku tahu di mana itu. Aku hanya bisa mengingat sedikit peristiwa, sebelum aku dan si Kanan akhirnya berpisah. Entah untuk sementara atau untuk selamanya, aku tak tahu. Aku sudah lama menjadi pasangan si Kanan. Yang terlintas dipikiranku yaitu, aku sangat bergantung padanya. Susah-senang, panas-dingin, terang-gelap, siang-malam, telah kulewati bersamanya. Dan kuakui, dia adalah mitra yang tangguh. Kami berdua selalu menjadi kebangaan sepasang kaki. Kaki yang telah membawa kami menemukan hal-hal baru, yang dulu menjadi pertanyaan besar dalam diri. Hingga suatu saat, sepasang kaki itu membawa kami naik dan turun tanah berbatu yang sedikit licin. Dan aku, si kiri, tiba-tiba terlepas dari kaki kiri, lalu sampailah aku di sini. Tempat asing ini, kebun yang penuh dengan beragam penghuni. Aku bisa melihat banyaknya pohon menjulang tinggi ke langit, kicauan burung-burung dari sarangnya, dan hembusan angin segar nan mewangi. Damai dan indah, tapi tidak untuk hati ini.
Setiap hari banyak hal baru yang kutemukan. Ulat yang biasanya hanya berwarna hijau atau putih, di sini aku melihat bahkan berteman dengan yang berwarna hitam, kuning, merah, bahkan yang coklat. Ukuran dan warna semutpun beragam. Namun, aku masih saja belum bisa menghilangkan si kanan dari pikiranku. Di mana dia? Apa yang sedang ia lakukan? Apa saja hal baru yang ia temui, apakah sama denganku? Tampaknya, belum kutemukan jawaban itu. Jawaban tentang bagaimana si kanan sebenarnya.
Hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, sampai aku tak sadar, aku tak seperti dulu lagi. Cipratan lumpur dan air hujan membuatku menjadi sepatu yang lusuh dan kotor. Tak jarang pula entah itu tangan atau kaki, mencoba mengangkatku dan kembali menjatuhkan ku di sini. Di tempat yang sungguh asing bagiku.
Keberadaanku di sini membuatku lupa akan jati diriku yang sebenarnya. Aku tak yakin, apakah ini perkembangan pribadi yang baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru? Sering aku membuat janji dengan para burung pipit untuk berburu makanan bersama. Tak jarang pula aku bercerita tentang betapa eloknya tempat asing ini kepada para semut pekerja yang masih remaja. Aku mengatasnamakan eksistensi sebagai tolok ukur segala pengetahuanku tentang tempat itu. Kenyataannya, aku hanya mendapat cerita dari teman-teman baru yang sudah sekian lama mendiami tempat asing ini. Itu semua aku nikmati dengan penuh arti. Arti yang sengaja telah kuubah. Arti yang sebenarnya terasa sangat sepi dan tak berdaya akan kehancuran hati.
Kenangan akan sepatu pasangan, bukanlah hilang, tapi berevolusi menjadi sebuah pola hidup yang baru. Di mana kesendirian adalah awal dari kebersamaan. Aku merasa teori ini benar. Terasa sangat benar bagi kehidupan yang baru aku jalani ini. Apa? Aku hidup? Menakjubkan!
Suatu saat, aku mulai mempertanyakan tentang keberadaanku di tempat yang sungguh aku tak tahu di mana dan apa. Apa ini merupakan sebuah ujian bagiku? Ujian untuk apa? Toh aku ini hanya sesuatu yang diinjak-injak oleh kaki para manusia. Manusia adalah makhluk yang paling biadab yang pernah aku tahu. Manusia seharusnya tidak memperlakukan hal sekeji ini padaku. Mereka telah aku tolong dengan kekuatan yang aku miliki. Ku korbankan kehidupanku hanya untuk melindunginya dari tajamnya pecahan beling, lengketnya permen karet bekas, dan menjijikkannya tahi tikus yang hampir menjadi menu utamaku setiap hari. Kenapa aku harus berada di sini?
Tiba-tiba cahaya putih seakan membuatku melayang, menelanku, dan akhirnya membawaku ke dimensi lain. Tempat yang samar-samar aku ingat. Beberapa saat kemudian, aku sadar bahwa aku telah selesai dijahit. Tubuhku menjadi semakin kokoh dan tegap. Kulitku juga mengkilat bagai dilahirkan kembali. Ya, aku kembali!
"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"
Suara merdu itu, suara yang aku rindukan dan membuatku gila sampai tak bisa membedakan antara hidup dan mati. Kini telah kembali dalam kehidupanku. Ya, aku bertemu dengan si Kanan. Sungguh sebuah keajaiban yang benar-benar datang pada waktu yang tepat. Ku lemparkan senyum dan tatapan penuh rindu pada si Kanan. Aku sungguh beruntung bisa mempunyai kesempatan untuk bisa menghabiskan sisa hidupku bersamanya.
"Aku khawatir padamu, Kiri. Kau hampir saja dibuang oleh sang Pemilik. Namun, keteguhanmu telah membentuk perisai pelindung bagimu. Kau telah berjuang dengan sangat hebat saat melindungi kaki sang Pemilik. Kau sangat luar biasa."
Aku tidak sanggup melahirkan kata-kata untuk menanggapi kebahagiaan yang luar biasa ini. Mataku hanya bisa menatap si Kanan dengan penuh ketegaran dan keyakinan. Dalam tatapan itu pun aku berdialog guna melukiskan rasa yang sungguh indah. Keteguhan yang aku beri tak pernah aku ingat sebagai perjuangan yang harus dihargai. Itu semua adalah alasan mengapa aku ada di dunia ini.
"Tahukah kau, mengapa aku setia menantimu?" tanya si Kanan padaku. Masih sulit rasanya menjawab, sehingga hanya gelengan ini yang menunjukkan ketidaktahuanku. Kesunyian pun tercipta. Hingga akhirnya keberingasan berujar telah merasuki diriku secara tiba-tiba.
"Karena kita adalah sepasang sepatu," kataku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI