Deretan kasus pelanggaran oleh oknum Polri dalam beberapa bulan terakhir membentuk pola yang mengerikan. Dari 429 personel Polda Riau yang terlibat narkoba, oknum polisi pemeras dana pendidikan di Sumut, kekerasan seksual terhadap remaja di Papua Barat, hingga penembakan fatal oleh Aipda Robig di Semarang - semuanya menunjukkan satu kesamaan: penyalahgunaan wewenang yang sistemik. Ironisnya, di tengah krisis legitimasi ini, RUU Polri justru hendak memperluas kewenangan aparat tanpa disertai mekanisme pengawasan yang memadai.
Kasus narkoba massal di Polda Riau membuktikan kegagalan sistem pengawasan internal Polri. Bagaimana mungkin institusi yang bertugas memberantas narkoba justru menjadi sarang pengguna dan pengedar? Sementara itu, kasus pemerasan di Sumut menunjukkan mental premanisme yang telah mengkristal, di mana oknum penyidik korupsi justru menjadi pelaku utama. Yang paling memilukan, seragam yang seharusnya melindungi justru menjadi alat kekerasan seksual terhadap dua remaja di Papua Barat - kejahatan yang terjadi dalam tahanan, ruang yang seharusnya paling terkontrol.
RUU Polri dalam bentuk sekarang berpotensi melegalkan berbagai penyalahgunaan wewenang ini. Klausul-klausulnya yang kontroversial akan memberikan kekebalan hukum bagi tindakan represif aparat, memperluas kewenangan tanpa checks and balances yang memadai, dan memangkas peran pengawasan eksternal. Dengan RUU ini, kasus seperti penembakan oleh Aipda Robig - yang hingga kini masih menerima gaji meski telah menewaskan pelajar - akan semakin sulit diadili secara transparan.
Kasus Aipda Robig menjadi contoh nyata mengapa RUU Polri berbahaya. Proses hukum yang berlarut-larut dan status keanggotaan yang tetap dipertahankan menunjukkan budaya impunitas di tubuh Polri. Padahal, korban adalah pelajar yang tewas akibat tembakan aparat dalam situasi yang tidak mendesak. Jika kasus sejelas ini saja sulit diproses secara tegas, bagaimana dengan kasus-kasus lain yang lebih rumit jika RUU Polri disahkan.
Masyarakat tidak lagi bisa percaya pada retorika "oknum" ketika pelanggaran terjadi secara masif dan sistemik. RUU Polri dalam bentuk sekarang hanya akan memperdalam krisis legitimasi Polri. Â Tanpa itu, seragam coklat akan semakin dipandang sebagai simbol penyalahgunaan kekuasaan, bukan perlindungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI