Mohon tunggu...
Valerine Sriwijayanto
Valerine Sriwijayanto Mohon Tunggu... Pseudonym by Erza Heksa Arifin

Di sini tempatku menampilkan cerpen dan puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan dan Setangkai Matahari

13 Agustus 2025   15:24 Diperbarui: 13 Agustus 2025   15:24 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Matahari (Sumber: Gambar oleh Yair Mejia di Unplash.com)

Namaku Ezra Malaka. Sudah setengah jam lebih aku mondar-mandir di toko bunga Florita. Toko bunga yang letaknya di pinggir jalan raya kota Astria dan tak terlalu jauh dari alun-alun kota. Walaupun merepotkan, kali ini aku bersedia bersusah payah memilah ratusan tangkai bunga Matahari demi temanku. Teman baikku.

Kemarin, temanku terkena serangan jantung dan meninggal seketika di rumahnya. Bocah malang itu memiliki jantung abnormal sejak kecil hingga rentan untuk melakukan pekerjaan berat. 

Sebelum meninggal, ia berpesan padaku agar menyerahkan sepucuk surat dan setangkai bunga matahari teruntuk kekasihnya; Lisa. Surat sudah ia tulis dan dibungkus dengan amplop hitam yang apik. Namun kurangnya bunga matahari membuatku harus membelinya di toko Florita, toko bunga paling terkenal di kota Astria.

Dan, di sini lah aku berada. Menghabiskan puluhan menit berdiri diam memperhatikan. Menghimpun pandangan kesana kemari ke pot khusus bunga matahari. Aku tak begitu paham tentang bunga. Temanku pun tidak. Aku hanya tau kalau Lisa memang memuja bunga matahari seperti meminang benda berharga dan mahal.

Di langit, awan bergerumul seperti berupaya untuk memuntahkan ribuan liter hujan. Aku yang tak ingin berlama-lama segera menyabet setangkai bunga matahari dengan panjang 20 cm. Ukuran yang pas untuk digenggam pikirku. 

Di depan meja kasir, aku berbasa-basi dengan penjaga kasir bahwa hari ini akan turun hujan hingga esok pagi. Entah kenapa penjaga kasir tampak tak acuh atas ocehanku. Meskipun seperti dianggap tak ada, aku yang buru-buru tidak terlalu memedulikan respon dingin itu dan langsung memberi sejumlah uang pas padanya.

Dari toko Florita, aku hendak menuju kediaman Lisa si jelita. Lisa memang rupawan. Entah mengapa temanku itu bisa membuat bidadari sepertinya luluh. Padahal aku, Ezra Malaka, tak jauh berbeda tampannya.

Rintik-rintik hujan mendera kota Astria dengan sopan. Aku yang menyangka akan terjadi hujan deras buru-buru memasukkan setangkai bunga matahari tadi di dalam jaket kulit cokelatku. Mendekapnya erat seperti menghardik hujan agar tak membasahinya. Surat untuk Lisa pun aku simpan di saku dalam jaket. Hujan mengguyurku dengan hebat.

Tentang hujan, temanku yang sudah terkubur di pemakaman kota itu adalah penyuka hujan. Sejak kecil, ia selalu memberi tahu bahwa ia bercita-cita menjadi hujan. Mimpi konyol yang aku pikir akan dilupakan ketika ia tumbuh dewasa. 

Tapi, sebelum mati aku sempat menanyai lagi soal itu. Dengan senyuman bodoh ia menjawab santai: "Impianku tak berubah. Aku tetap ingin menjelma menjadi hujan." Hahaha...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun