Mohon tunggu...
Tovanno Valentino
Tovanno Valentino Mohon Tunggu... Konsultan - Hanya Seorang Pemimpi

Hanya Seorang Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tunggu Anak Diperkosa Baru Sadar?

9 Januari 2014   04:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:00 2550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13892154021273770277

[caption id="attachment_314719" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi : pcbk.wordpress.com"][/caption]

Jawabnya Telat!  Mau nangis darah, emosi jiwa sama pelaku, kemudian ribut dan saling menyalahkan? Semua sudah terjadi! Pemulihan korban perkosaan tidak semudah membalik "sandal jepit", dalam hitungan hari namun tahun, mungkin juga akan menyisahkan trauma dan masalah psikologis seumur hidup korban. Bahkan  orang tua dan keluarga terdekat pun akan merasakan dampak tersebut.

Menurut psikolog sekaligus pendiri Yayasan Kita dan Buah Hati, ibu Elly Risman, korban video adegan "asusila" pelajar SMP di Jakarta beberapa waktu yang lalu saja membutuhkan waktu penanganan khusus selama bertahun-tahun oleh psikolog, pekerja sosial dan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kompetensi di bidang tersebut (metrotvnews.com 10/10/2013). Jadi bisa dibayangkan saja berapa lama penanganan korban-korban pelecehan seksual, pemerkosaan pada anak oleh para predator online  ini?

Perlu fakta atau kurang fakta?  Sebenarnya sudah banyak kami rangkum dalam tulisan kami, juga yang ditulis oleh bloger atau komunitas lainnya. Namun untuk mengetahui berita terbaru dan ulasan Komandan ICT Watch, Donny BU silahkan membaca tulisannya yang berjudul Pedofil Online Memangsa Anak Indonesia! (7/1/2014).

Salah satu kasus disebutkan dalam tulisan Donny, terjadi di sebuah kota di Jawa Timur, dimana dengan berkedok sebagai seorang dokter perempuan muda di Facebook, seorang pelaku pedofil berhasil memberdaya setidaknya empat korban dari sebuah sekolah dasar yang sama (semuanya anak gadis). Dengan alasan berdiskusi tentang kesehatan alat reproduksi, para korban berhasil dibujuk rayu untuk mengirimkan gambar-gambar vulgar dirinya sendiri, yaitu gambar payudara dan alat kelamin mereka. Kemudian gambar-gamber tersebut disebarluaskan kemana-mana oleh pelaku pedofil tersebut, bahkan hingga saat tulisan Donny dimuat di web pribadinya.

Lebih lanjut menurut keterangan Donny, pedofil tersebut menyebarkan foto-foto korban melalui forum online, Facebook dan sebagainya. Tak cukup hanya itu, pelakunya pun membubuhi aneka informasi fitnah yang keji untuk menyertai foto-foto tersebut. Semisal, bahwa orangtuanya memaksa untuk menjual kegadisan anaknya hingga dikatakan sebagai korban perkosaan dari guru di sekolahnya. Dan, foto orangtua dan guru dari para korban tersebut, turut digadang-gadang untuk makin mempermalukan keluarga yang nahas tersebut.

Menurut Donny, Kasus tersebut saat ini sudah berada di tangan kepolisian setempat. Proses penuntasan atas kasus ini memang tidak mudah. Ada indikasi bahwa pelakunya adalah orang yang cukup paham dan cukup sering melakukan aksi pedofilia online dengan tujuan mengumpulkan gambar pornografi anak. Dan bukan tidak mungkin, ini merupakan sebuah sindikat "bawah tanah" yang memang saling bertukar koleksi atau bertransaksi pornografi anak.

Sepanjang tahun 2013 saja sudah terjadi beberapa kasus seperti :

  • Januari 2013, seorang siswi SMK di Makale - Tana Toraja, dibawa kabur oleh teman pria yang dikenalnya via Facebook.
  • Maret 2013, seorang siswi SMK di Jakarta Timur diculik oleh temannya di Facebook.
  • April 2013, seorang siswi MAN di Purworejo, diculik, disekap dan diperkosa oleh pelaku yang baru dikenalnya via Facebook.
  • Oktober 2013, seorang siswi SMP di Makassar diculik dan disetubuhi oleh seseorang yang dikenalnya di Facebook.
  • Desember 2013, Kenal Gadis 17 Tahun di Facebook, Dipacari Lalu "Dijual"

Pertanyaan pada judul tulisan ini memang blak-blakan saja, karena selama melakukan sosialisasi pemanfaatan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) saat itu semua orang tua menaruh perhatian penuh, namun setelah itu mungkin tenggelam begitu saja setelah kami berlalu. Seakan-akan hanya heboh pada saat kegiatan berlangsung.  Walaupun secara keseluruhan masih ada orang tua yang melakukan komunikasi dan konsultasi rutin atas permasalahan yang menimpa anak mereka hingga saat ini melalui email resmi kami, namun prosentasenya masih sangat kecil, mungkin juga karena malu, merasa tabu atau alasan lainnya.

Dengan menghadirkan fakta-fakta penyalahgunaan pemanfaatan TIK, yang berbahaya bagi anak dan remaja. Berbagai sosialisasi dan bimbingan telah kami berikan untuk melakukan proteksi dan pengawasan terhadap anak dalam memanfaatkan TIK. Mulai dari cara yang paling sederhana hingga secara teknis yang memang membutuhkan perhatian dan kemampuan secara khusus. Bahkan untuk menindaklanjuti kegiatan-kegiatan tersebut, kami juga telah berupaya menanyakan pihak sekolah atau komunitas yang kami datangi untuk mendapat umpan balik setelah jangka waktu tertentu, namun kurang mendapat perhatian, sebagian diantaranya meminta untuk mengadakan kegiatan ulang untuk menanyakannya langsung kepada orang tua. Kalau hanya focus pada mereka saja, kapan giliran orang tua lain diedukasi? Sedangkan relawan yang ada saat ini saja banyak memiliki keterbatasan, baik waktu dan kesibukan lainnya.

Bukan saja kami, melalui IDKITA Kompasiana yang melakukan hal itu. Jauh sebelum kami, sudah berjuang kawan-kawan relawan TIK, ICT Watch, Komunitas bloger, aktivis lain dan tentunya pemerintah dalam hal ini kementrian komunikasi dan informatika. Namun sepertinya isu yang kami angkat sepertinya “kurang seksi” untuk diberitakan dan menjadi perhatian situs-situs berita/media online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun