Mohon tunggu...
Valentina Amanda Sitorus Pane
Valentina Amanda Sitorus Pane Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pencemaran Laut Sulit Mendapatkan Solusi?

1 Desember 2022   21:00 Diperbarui: 1 Desember 2022   21:47 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mempunyai wilayah laut seluas 3.257.357 km2 menurut data UNCLOS. Pada wilayah seluas itu terkandung 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200km. Dengan jumlah sebesar itu, tentu Indonesia menjadi sangat rentan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan wilayah laut, baik yang berasal dari aktivitas domestik manusia, industri, perhubungan laut, maupun aktivitas lainnya. 

Hal tersebut tentunya menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem, habitat, biota laut serta penurunan kualitas lingkungan pesisir. Pastinya jika ancaman tersebut tidak ditangani dengan tepat dapat berdampak luar terhadap kehidupan manusia dan biota laut.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan PP Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut yang kini sudah dicabut dengan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjamin kelestarian sumber daya alam terutama dalam hal ini kelautan di Indonesia. Namun akan menjadi pertanyaan apakah peraturan tersebut terlaksana dengan baik melihat realita laut Indonesia semakin tercemar?

Faktanya, laut di NTB dan NTT selama kurang lebih 10 tahun terakhir tidak bisa terlepas dari pencemaran laut akibat industri tambang mineral, migas dan PLTU. Bahkan baru-baru ini terjadi di Teluk Bima namun seakan-akan angin lewat tanpa adanya pertanggungjawaban padahal sudah terbukti di pengadilan bahwa perusahaan Australia adalah penyebabnya. 

Akibat dari padanya ribuan nelayan di Pulau Rote kehilangan pendapatan akibat biota laut yang mati. Bernasib sama di laut pesisir Bintan yang kembali dicemari limbah minyak hitam yang dibuat kapal asing di perbatasan Selat Malaka. Sudah mencapai 10 tahun lamanya, tapi pemerintah daerah masih belum menemukan solusinya. Waktu yang cukup lama untuk tidak menemukan penyelesaiannya sama sekali.

Selain itu, pencemaran atas logam berat juga teridentifikasi pada biota laut di perairan penambangan emas di Pulau Buru, Maluku. Menurut penelitian balai besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, hasil laut Indonesia ditolak oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat karena ada cemaran logam berat, mikroba, pathogen, residu histamine, dan obat hewan. Menanggapi hal tersebut, Etty Riani selaku salah satu Dosen Institut Pertanian Bogor menyatakan kerugian ekonomi akibat tercemarnya laut Indonesia lebih besar jika menghitung aspek kesehatan masyarakat terdampak dan kehancuran ekologi tak bisa lagi dipulihkan.

Berbagai pihak/sektor telah melakukan upaya dalam penanggulangan dan pengendalian pencemaran, namun masih belum terintegrasi. Pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan laut tersebut tidak dapat dilakukan secara tersendiri dan harus melibatkan banyak pihak di dalamnya.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perusahaan yang telah menyalahi kewajibannya memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup serta menyalahi ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 

Perusahaan dituntut untuk melakukan tanggung jawab mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi "Setiap orang yang tindakannya menggunakan B3, menghasilkan dan atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan".

Melihat kenyataan yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat banyak yang menyalahi aturan perundang-undangan, seperti Pasal 68 huruf b dan c, serta Pasal 69 huruf a, e dan f UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akibat dari pencemaran tersebut, hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat hilang, terutama bagi mereka yang bertempat tinggal dan menjadikan pesisir dan laut sebagai sumber mata pencahariannya. Pemusnahan hak tersebut serta pula bertentangan dengan Pasal 9 ayat (3) UU Nomor Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi "Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat".

Menanggapi hal tersebut, masyarakat pun dapat aktif memperjuangkan hak-haknya dengan cara menuntut secara hukum, baik secara litigasi maupun non-litigasi untuk menuntut kerugian yang menimpa dirinya. Hak untuk menggugat masyarakat ini dapat dilakukan dalam bentuk gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) yang telah diatur dalam Pasal 87 dan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun