Mohon tunggu...
Zukra Budi Utama
Zukra Budi Utama Mohon Tunggu... profesional -

Pembelajar Sosial dan Ekonomi Manajemen SDM

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mogok Kerja Sebagai Penyeimbang Arah Usaha Menuju Pertumbuhan Usaha Berkesinambungan

17 April 2015   15:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:59 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh:

Zukra Budi Utama, Research & Development Division Head – Apindo Training Center DPN Apindo Gd, Permata Kuningan Lt. 10. Setia Budi Jakarta 12980

Pengantar:

Tulisan ini disampaikan dalam bentuk jurnal pada acara Speak Up Apindo Training Center 16 April 2015 dengan topik menyambut Mayday 2015, bertujuan memberikan perspektif baru tentang hakikat dasar dari mogok kerja.

********

Membahas tentang mogok kerja seperti tak ada habisnya. Banyak penelitian tentang mogok kerja namun mogok kerja seperti tak pernah berhenti. Kali ini ingin dilihat dari perspektif yang berbeda dengan mencoba menangkap hakikat mogok kerja itu sendiri. Bahwa apa saja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan pembangunan ketenagakerjaan yaitu terciptanya hubungan yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.

Mogok hakikatnya penyeimbang bagi buruh dalam mempertahankan hubungan harmonis, dinamis dan berkeadilan. Mengacu pada UUD 45 Pasal 28D ayat 2 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Maka apabila imbalan dan perlakuan dirasa tidak adil dan mengarah pada eksploitasi, pada tahap inilah buruh menggunakan mogok untuk mengimbanginya.

14292580532016083828
14292580532016083828

(mogok sebagai penyeimbang bagi eksistensi hubungan harmonis, dinamis, berkeadilan)

Mogok bukan semata tentang keinginan yang tidak sama, tetapi lebih pada ledakan akumulasi tekanan rasa ketidakadilan yang berkesinambungan, maka komunikasi sebagai “Pengendalian” harus lebih diprioritaskan daripada penyelesaian perselisihan sebagai “Penanggulangan”.

Undang-Undang dapat saja mensyaratkan gagalnya perundingan (deadlock) sebagai syarat syah mogok kerja (UU 13 Tahun 2003 Pasal 137), tapi pada prakteknya, sekalipun tidak ada kesepakatan deadlock, mogok kerja dapat terjadi, sepanjang pekerja merasakan adanya eksploitasi.

Penelitian terkait mogok kerja selalu mengarah kepada lebarnya jurang komunikasi disebabkan perbedaan persepsi antara pengusaha dengan pekerja. Fakta yang ditemukan di lapangan bahwa pengusaha memandang pekerja dan dirinya dari persepsinya sendiri, yang ketika diukur ternyata jauh berbeda dibandingkan persepsi pekerja, sehingga kondisi ini menjadi rawan terhadap konflik (Engkoswara, 2009). Untuk mengukur persepsi ini, Apindo Training Center (ATC) sudah mengembangkan tool Peta Persepsi Perusahaan yang dapat digunakan sebagai acuan tindakan pencegahan akumulasi tekanan rasa ketidakadilan yang beresiko pada mogoknya pekerja.

Fakta lain menunjukkan bahwa persepsi pengusaha untuk menekan serendah mungkin biaya SDM tingkat pelaksana di pabrik (buruh), demi menekan biaya operasional, faktanya justru sebaliknya. Penelitian membuktikan terjadinya peningkatan produktifitas dan keuntungan perusahaan jauh melampai target setelah perusahaan memenuhi hak-hak pekerja dan membangun hubungan yang lebih baik daripada sebelumnya (anonim, 2014).

Hampir seluruh penelitian berkesimpulan masalah utama mogok kerja adalah kurang baiknya komunikasi. Sarana komunikasi yang disediakan dalam UU Ketenagakerjaan antara lain sebagai antisipasi adalah Lembaga Kerjasama Bipartit (LKS Bipartit), yang diamanahkan Pasal 106 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disamping sebagai solusi berupa perundingan Bipartit (Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI), untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah.

Namun apakah komunikasi saja sudah cukup? Tentunya komunikasi harus ditindaklanjuti dengan konsekuensi dan konsistensi dengan arah yang jelas, yang menjadi rambu dari asas kemitraan yaitu “bersama fokus membangun pertumbuhan usaha bagi kepentingan bersama”.

Menarik melihat terobosan berpikir pengurus serikat pekerja ketika penulis mengisi pelatihan tentang mogok kerja beberapa waktu lalu di ATC. Ketika dibebaskan dari perspektif pihak, ternyata pendapat mereka dapat mengerucut menghasilkan solusi yang mampu menjamin tidak terjadinya mogok kerja, dalam dua langkah berikut.

Langkah pertama adalah membangun syarat kerja (dalam Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama), dengan perspektif pertumbuhan usaha berkesinambungan yang berhubungan positif dengan peningkatan kesejahteraan pekerja.

Setelah syarat kerja basis pertumbuhan usaha tersebut diwujudkan, lalu dibuat klausul khusus tentang mogok yang antara lain memuat:

1.Pekerja berkomitmen untuk tidak mogok selama masa berlakunya syarat kerja.

2.Pekerja berhak mogok apabila perusahaan terbukti tidak menjalankan isi syarat kerja, walaupun sudah diperingatkan oleh pihak pekerja.

3.Apabila pekerja mogok tanpa alasan dimaksud diatas, maka penandatangan surat pemberitahuan mogok kerja dikenakan sanksi PHK.

Tahap berikutnya adalah bagaimana membangun syarat kerja dengan perspektif pertumbuhan tersebut? Salahsatunya dapat disusun dalam rangkaian kalimat berikut. “berdasarkan nilai rata-rata produksi dan profit lima tahun terakhir, jika dengan skala jumlah produksi yang sama pekerja dapat meningkatkan jumlah profit yang diperoleh, berapa persenkah dari peningkatan tersebut diberikan untuk pekerja dalam jangka pendek dan jangka panjang? Bagaimana membaginya dengan adil?”

Itulah makna komitmen dibalas komitmen yang sama keniscayaannya dengan mogok sebagai penyeimbang eksploitasi.

Layak diwaspadai kesempitan pemikiran segelintir oknum yang tidak peduli nilai-nilai luhur keberadaan institusinya yang sangat mulia bagi penghidupan orang banyak. Pemikiran sempit segelintir pengambil kebijakan inilah yang akan menyesatkan cara pandang para pihak dalam membangun hakikat kemitraan yang sejatinya jauh lebih menguntungkan daripada paradigma konflik. Mereka merasa jadi pahlawan, padahal justru menghancurkan lahir dan bathin perusahaan, hanya disebabkan ketidakmampuan berpikir positif membangun komunikasi dan syarat kerja perspektif pertumbuhan.

Jadi teringat pesan Jack Welch tentang kunci cara menggandakan aset GE dalam waktu hanya 5 tahun, yaitu: “Anda tidak mampu memiliki siapa saja yang berjalan melalui pintu gerbang sebuah pabrik atau kedalam sebuah kantor yang tidak memberikan 120%”. Welch memastikan komitmen pekerja-lah yang berperan utama dalam kesuksesannya.

Tapi bagaimana Anda akan mampu dapatkan 120% sedang Anda memberi dibawah 100% dari apa yang seharusnya mereka dapat? Maka terapkan undang-undang dengan konsekuen, konsisten dan “cerdas”,  lalu perbaiki jika dirasa tidak adil atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

Maka jelaslah jika persoalan mogok kerja tidak ada habisnya dapat menjadi kaca bagi dunia usaha bahwa persoalan eksploitasi ternyata tidak ada hentinya. Ini lebih disebabkan keterbatasan kompetensi pelaksana manajemen dalam membangun usaha yang sehat. Sangat tidak dapat diterima akal sehat jika pekerja mau melakukan mogok kerja yang merusak tempat yang selama ini menafkahi anak istrinya, tanpa alasan yang kuat.

Berdasarkan fakta dari hasil penelitian yang menunjukkan peningkatan pertumbuhan usaha setelah perusahaan memenuhi hak pekerja dan membangun komunikasi yang baik dengan pekerja, maka dapat disimpulkan mogok kerja yang baik adalah mogok kerja yang mampu mendorong arah kebijakan perusahaan untuk sepenuhnya memenuhi hak pekerjanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga sejatinya mogok kerja adalah penyeimbang bagi arah usaha menuju pertumbuhan usaha yang berkesinambungan. Tentunya "pertumbuhan usaha berkesinambungan agar memberi banyak manfaat" merupakan cita-cita sejati dari pendiri usaha.

Agar tidak tersesat jalan dalam mencapai cita-cita murni dibentuknya perusahaan, maka pilihlah pelaksana manajemen hubungan industrial yang benar-benar bersih hatinya. Indikatornya orang ini tidak pernah menyampaikan hal-hal negatif tentang orang lain hanya karena kedengkian dan kepentingan semata. Hatinya punya respek abadi yang tulus mendukung sesama, sehingga mampu bersikap positif atas setiap gejala negatif yang terlihat, dengan tujuan memperbaikinya. Yang sanggup menangkap esensi nilai keadilan dalam perspektif pertumbuhan, serta mampu berdiri objektif menyampaikan kebenaran berdasarkan nilai keadilan tersebut kepada semua pihak.

Terlepas dari hal apapun yang disampaikan diatas, dalam rangka menyambut Mayday, tidak ada salahnya mengingatkan para pihak akan peran mereka yang sangat krusial dalam mewujudkan amanah pembangunan nasional bagi kepentingan ratusan juta rakyat Indonesia. Bahwa apa saja yang Anda dapatkan adalah buah dari apa saja yang Anda lakukan. Anda menuai apa saja yang Anda tanam. Semoga kebijakan mereka benar-benar fokus pada kebaikan bangsanya, sehingga keberkahan dan kebaikanlah yang mengiringi setiap langkah mereka. Amin. (Jkt/15/04/15).

------------------------

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun