Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Si Piyu

21 September 2020   00:00 Diperbarui: 21 September 2020   00:22 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hajar Bleh, hajar!" seru seseorang mengomporinya setengah bergurau. Dia bergeming. Matanya nyalang. Emosinya meletup. "Haaaaah!" teriaknya keras. Kesabarannya nyaris hilang. Dia sangat murka . "Awas lu!" ancamnya.  Tangannya mengacungkan sepotong bambu.

Dua pemuda yang telah menendang-nendang barang dagangannya hingga berantakan, kabur memasuki keramaian pasar tanpa sempat dipentungnya.  Dia urung mengejarnya. Mulutnya yang dower bawaan terus menggerutu demi melampiaskan kekesalan.  Matanya yang berkaca-kaca digosok dengan punggung tangannya.

Ini kali kesekian kedua pemuda pengangguran itu berulah terhadapnya. Biasanya jika dinakali dia cenderung mewek atau minta dikasihani seraya mengingatkan bahwa dirinya anak yatim dan tidak boleh diganggu. Namun kini dia telah mempunyai keberanian untuk membela diri. 

Sesungguhnya ini adalah tanda bahwa dia telah mendewasa. Terbukti pula bahwa dia juga sudah bisa cari duit dengan cara berjualan, meskipun masih terkesan seperti bermain dagang-dagangan.  Itu suatu kemajuan berarti.

Pelan-pelan kekesalannya mereda. Dia sadar bahwa dia sedang berjualan, dagangannya harus terjual. Dia mengobral dagangannya, rata-rata dua ribu rupiah.  "Pete dua libu, kangkung dua libu, bayam dua libu, singkong dua libu!" Artikulasinya tak begitu jelas dan suaranya fals.

Seorang perempuan dewasa merapat ke lapaknya dan memilih-milih. "Yaaaaah, sudah pada peyot petenya."

"Mulah!"

"Murah sih murah...... Kangkung aja deh dua ikat."

Menerima dua lembar uang dua ribuan wajahnya sumeringah. Dikibas-kibaskannya uang itu ke dagangannya seraya mulutnya seperti merafal mantera. "Penglalis!

Dia mulai buka lapak di area sekitar pasar kompleks perumahan sejak dua pekan lalu.  Barang dagangannya diperoleh dari seorang saudaranya yang juga pedagang sayur-sayuran. Namun belakangan dengan uang yang dimilikinya dia telah berani memborong singkong di kebun milik warga.

Dari negosiasi harga, mencabutnya, hingga memasarkan dilakukannya sendiri. Kebanyakan pembeli dagangannya adalah orang-orang sekampung yang mengenalnya dengan baik. Sebagian dari mereka membeli dagangannya lebih karena kasihan dan menghargai kemauannya berikhtiar.

Meskipun kerap sepi pembeli tapi dia terus berjualan. Biasanya lewat tengah hari setelah pasar sepi dia menutup lapaknya. Sisa daganganya dijajakan  di sepanjang perjalanan pulangnya. Jika sampai di rumah masih tetap tersisa,  Mak Juminah-lah yang kemudian memasaknya atau memberikannya kepada tetangga.

Meskipun sifat kekanak-kanakannya masih tampak dominan, tapi kini dia jauh lebih dewasa dibanding dengan  beberapa tahun sebelumnya. Maklumlah, dia terlahir dengan kondisi  mental yang istimewa. Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih kanak-kanak. Ibunya kewalahan mengurusinya. Dia pun tak pernah bisa mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya.

Dia pernah ditolak ketika hendak masuk SD karena dikhawatirkan tidak dapat mengikuti pelajaran. Tak ada orang yang sanggup dengan telaten mengajarinya baca-tulis sesuai dengan kemampuannya, pun  guru ngaji yang pernah didatanginya.  Setiap pelajaran yang disampaikan kepadanya  seperti tak sedikitpun ada yang menyangkut di benaknya.  

Selain karena kondisinya yang serba kekurangan, orang-orang mengasihinya lebih karena dia anak yatim. Dia kerap menerima pemberian yang diatasnamakan sebagai sedekah.

Bahkan setiap 'lebaran yatim' tanggal sepuluh Muharam dia selalu hadir dan masuk antrean bersama anak-anak yatim lainnya untuk mendapatkan santunan. Dia pun senang karena mendapat uang.

Orang-orang tak luput dari mengusap kepalanya. Mereka berharap pahala sunah. Hanya dia penerima santunan anak yatim yang paling tua. Panitia belum berniat mencoret namanya. Dia masih dianggap layak. "Kamu lagi kamu lagi!" cetus seorang panitia membecandai.

Biasanya sekadar untuk membeli jajanan dia selalu punya uang. Jika tidak punya uang dia kerap memintanya kepada siapa saja yang dijumpainya. Tidak banyak yang dimintanya, hanya seribu rupiah. "Minta duit ebu!"  pintanya dengan tangan menadah. Jika diberi uang lima ribuan atau lebih dia menolak. Yang dia mau hanya seribu rupiah karena baru itu yang dia tahu.

Bahkan sampai usianya kepala tiga dia masih menjadi peminta-minta. Kalau hanya diminta seribu rupiah orang pun tidak keberatan. Jika kebetulan sedang tak ada uang, orang dewasa kerap memberinya sebatang rokok. Dia tidak menolak. Dia diajari merokok, selanjutnya dia ketagihan. Jadilah dia perokok layaknya kebanyakan orang dewasa.

Ibunya tak dapat mengendalikan kebiasaannya itu. Seperti knalpot lokomotif, setip hari dari mulutnya mengepul asap rokok. Pada usia dewasanya kini, tampak jelas efek merokok pada penampilannya. Mulutnya berbau rokok, giginya kuning dan sebagian hitam. Dia juga  sering batuk-batuk.

Sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain layaknya kebanyakan anak-anak.  Namun dia tak punya banyak teman kecuali beberapa anak saudaranya. Satu-satunya teman yang selalu menyertainya adalah sebuah radio kecil.

Bahkan saat tidur pun radio itu selalu berada di sampingnya. Di saat anak-anak lain dari keluarga muda mulai bermain dengan ponsel layar sentuh, gadget atau tablet dia masih tetap asik dengan radio transistornya itu. Sekali-sekali dia juga bermain ponsel mainan.    

Teman-teman seusianya semua telah berumah tangga dan punya anak. Adik laki-lakinya pun telah dikaruniai tiga anak. Namun melihat kanyataan bahwa kondisi anaknya kurang memungkinkan dapat memenuhi harapan, Mak Juminah hanya bisa pasrah.

Namun kini, melihat perubahan berarti terjadi pada dirinya, Mak Juminah seolah tersadarkan.  Harapannya menggeliat. Mak Juminah berdoa, memohon jalan terbaik bagi sang anak. Didatanginya  ustaz di kampungnya untuk membantu mendoakan agar anaknya mendapat jodoh dan bisa berumah tangga.

Ibunya berharap agar jika dirinya tutup usia ada yang mengurusi anaknya, yakni istri. Segelas air putih yang telah didoai diminumkan kepadanya.  "Semoga enteng jodoh yah!" ucap Mak Juminah.

***

 "Piyu, pulanglah Nak!" tiba-tiba Mak Juminah menjelma di dekatnya.

Dia kaget, selanjutnya bengong dengan mulut menganga. Gigi-giginya tampak kotor tidak terawat.

"Ayolah. Bawa pulang daganganmu."

"Ada apa Mak?"

Mak Juminah segera membantu mengemasi dagangannya. "Ada yang penting. Pulang dulu. Besok dagang lagi, ayo!"

"Penting apa Mak?"

"Pokoknya penting."

"Emak sakit?"

"Tidak, emak tidak sakit."

Dia ragu, tapi Mak Juminah memaksa.

"Piyu, pulang dulu deh, makan! Besok jualan lagi yah!"  celoteh pedagang bubur ayam seakan dia masih anak-anak.

Di rumahnya ada tamu, seorang perempuan dan anak gadisnya. Mereka dari kampung seberang, yakni kampung sebelah yang hanya dibatasi oleh aliran sungai kecil.

Mak Juminah mengenalkan, "Ini Mak Saodah dan ini anaknya Icih."

"Mau ngapain ke sini?"

"Mau mengenalkan kamu dengan Icih. Dia baik orangnya. Ayo salaman!"

"Malu ah!"

Mak Juminah menarik tangan keduanya hingga bersentuhan. "Ayo salaman!"

Meskipun lebih muda dua belas tahun, gadis yang hendak dijodohkan kepadanya tak jauh berbeda kondisi mentalnya.

"Mak Saodah mengajak besanan. Kamu mau dijodohkan dengan anaknya."

Sesaat dia melongo. "Kawin, Mak?"

"Iya, kamu mau yah kawin sama dia? Cantik!"

"Gak ah, gak suka. Jelek!"

"Masya Allah, kayak kamu ganteng saja!" Mak Juminah kesal.

"Tidak apa-apa Bu, mungkin dia belum mengerti," sela Mak Saodah.

"Kamu sudah tua, harus kawin!"

Dia menghindar. "Gak mau sama itu."

"Sama siapa maunya? Si Mumun yang janda itu?"

"Mumun cantik Mak."

"Iya, tapi dia tidak bakalan mau sama kamu."

"Bu, biarlah anak kita berteman dulu." Nada bicara Mak Saodah merendah. "Kita punya permasalahan yang sama. Kita hanya bisa ikhtiar agar anak kita mendapatkan jalan hidup yang baik."

"Mungkin kesamaan inilah yang menjadikan sebab anak kita berjodoh."

"Saya juga berpikir begitu. Mana ada orang normal yang mau dengan anak seperti ini. Masalah keturunannya nanti, itu urusan yang mahakuasa."

Sepulangnya Mak Saodah dan Icih, dia terus didesak agar mau menerima tawaran menikah. 

"Pokok gak mau kawin!"

"Nak, kasihanlah sama emak. Nanti kalau emak mati, kamu tinggal dengan siapa?"

"Emak jangan mati. Kalau emak mati, aku juga mau mati."

"Kamu masih muda, emak sudah tua. Yang tua mati duluan, ngerti? Kawin sama Icih mau ya Nak!"

Dia tidak bergeming.

"Sekarang tak ada lagi waktu. Kamu harus kawin!"

"Aku mau dagang saja."

" Kalau tidak patuh sama emak kamu boleh minggat!"

Mak Juminah menyesali kata-katanya yang terlanjur terucap. Ingin rasanya dia meralat ucapannya, tapi tak berdaya. Suasana rumah kian muram. Selanjutnya, tak sepatah kata pun keluar dari mulutya.  Malam turut mengekalkan kekesalannya.

***

Subuh masih pias.  Kemarau masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Mak Juminah mendadak geger begitu menyadari bahwa ternyata anaknya raib sejak semalam. Teriakannya mengundang perhatian para tetangga, sehingga mereka berdatangan.

Mak Juminah panik. "Bagaimana kalau dia bunuh diri. Siapa tahu dia nyemplung ke sumur. Tolong lihat sumur-sumur warga!"

"Mak, sekarang sudah tidak ada sumur yang bisa dicemplungi.  Semua sudah pakai sumur bor, pakai sanyo. Tinggal cetrek!" Marsani, sepupunya dengan ketus menimpali.

"Atau siapa tahu ada yang menculik."

"Tidak bakalan Mak. Siapa yang mau menculik anak gituan. Dijual juga tidak laku. Paling-paling digondol kelong wewe!"

"Semabarangan ngomong! Kamu gak ngerti bagaimana perasaan ibu yang melahirkannya ini!" Mak Juminah mewek. "Duh, Piyu... Piyu, anakku. Jangan tinggalkan emak Nak. Maksud emak menjodohkan kamu, supaya kamu ada yang mengurusi kalau emak tutup usia."

"Itu sih. Sudah tahu anak begitu, mau dikawinkan! Kalau nanti keturunannya kayak begitu lagi, siapa yang tanggung? Kawinkan saja tuh dengan pohon pisang!"

"Cukup Marsani, cukup!"

"Iya maaf, habisnya Emak sih. Ya sudah, sekarang Emak tenang saja, biar saya dan bang Sapri yang akan mencarinya. Kalau ketemu mau diapakan dia, mau direbus?"

 "Marsani, santun sedikitlah kamu bicara!"

"Iya, maaf Mak."

"Jelek-jelek begitu juga anak kesayanganku. Waktu bayi dia ganteng." Sepeninggalan Marsani, Mak Juminah meracau sendiri.

***

Pagi. Pasar kompleks perumahan mulai ramai.  Para pedagang ikan dan sayuran mulai menggelar dagangan di kiosnya masing-masing. Pembeli terus berdatangan.

 "Sahur, sahur!" teriak pemilik kios setengah bergurau membangunkan seseorang yang terbungkus kain sarung dan beralas kardus.

Yang dibangunkan tak bergeming.

"Mas, mas, bangun sudah siang!" Tangannya menepuk-nepuk.

Tak ada perubahan.

Setelah semua gembok dibuka, diangkatnya rollong door. Suaranya berisik. Pemilik kios berinisiatif membangunkannya dengan cara lain. Mulutnya didekatkan ke telinganya. "Kebakaran, kebakaran, kebakaran!"

Yang dibangunkan pelan-pelan menggeliat. Sarung yang menutupi wajahnya dibuka.  Dia menggosok-gosok matanya. Dia berusaha memulihkan kesadaran. Pandangannya menyapu ke segala arah. "Gak ada kebakalan!"

"Eh.... ternyata kamu Piyu? Ngapain tidur di sini?"

"Londa, Om."

"Siapa suruh kamu meronda di sini?"

Dia geleng kepala.

"Bangun!  Sana pergi, urusin dagangan kamu!"

"Libul."

"Libur apa? Kenapa libur?"

"Gak jualan."

Tak ingin banyak bicara, diberinya uang lima ribuan. "Buat sarapan."

"Makasih, masih punya." Piyu menolak. Selanjutnya, dia pergi ke tempat biasa dia berjualan.

Sebagian pedagang pasar mengenalnya dengan baik. Mereka tak segan memberinya uang seribu rupiah ketika Piyu masih suka meminta. Namun sejak mulai bisa berdagang dia kerap menolak jika diberi uang. Malu, katanya.  Kemauannya bekerja menjadi perhatian banyak orang yang mengenalnya.

 "Piyu, ini sudah Abang siapkan daganganmu." Sapri menyambutnya.

"Duitnya?"

"Perhitungannya nanti saja kalau sudah terjual."

Pandangannya mencari-cari ke beberapa arah. "Ada emak gak?"

"Memang kenapa menanyakan emak?"

"Aku gak mau kawin?"

"Kawin sama siapa, sama kambing?"

"Sama olang dong! Cewek. Tapi aku gak mau. Jelek. Aku mau dagang saja bial untung, mau beli maltabak buat emak."

"Piyu, kawin itu enak."

"He, gak enak kalo jelek."

"Cari dong cewek cantik."

"Cewek cantiknya gak ada."

"Banyak, nenek-nenek cantik ada."

"Hahaha nenek-nenek kok cantik?!"

Sementara itu Mak Juminah mengintip dari balik gerobak tukang ketoprak. Hatinya lega atas keberadaan anaknya. Dia urung menemuinya. Namun hasratnya untuk mencarikan jodoh bagi anaknya masih ada. Dia masih akan mengusahakannya. Cerita tentang si Piyu akan dikawinkan terus bergulir dari mulut ke mulut dan menimbulkan tanggapan beragam.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun