Mohon tunggu...
Usman D. Ganggang
Usman D. Ganggang Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan penulis

Berawal dari cerita, selanjutnya aku menulis tentang sesuatu, iya akhirnya tercipta sebuah simpulan, menulis adalah roh menuntaskan masalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Terima, Sebab Dia Anakku!

8 Januari 2019   23:55 Diperbarui: 9 Januari 2019   00:00 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iya, setiap orang selalu bebas memberikan fungsi berdasarkan cara pandangnya setelah mencermati isi wacana bentuk puisi tadi. Tapi secara umum Depdikbud cq Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa ) merumuskan fungsi puisi," Sebagai pengasah nilai-nilai ke-manusia-an pembacanya, semisal kesadaran buat meningkatkan kualitas diri. Sedangkan peningkatan kualitas pribadi meliputi kecendikiaan, keterampilan, kepekaan batin, dan lain-lain.

Puisi yang baik, demikian Ragil dalam DIAN (1981) adalah puisi yang sanggup berfungsi membangkitkan keinsyafan bahwa kualitas pribadi pembacanya, esok hari, lebih baik ketimbang kualitas pribadinya hari ini. Namun bagi sang penyair sendiri, puisi memiliki fungsi sebagai: (1) medium kreasi (wadah buat proses dan hasil cipta); (2) medium komunikasi ( sarana untuk berhubungan dengan khalayak atau siapa saja); (3) medium ekspresi (alat untuk menyatakan atau mengungkapkan diri); (4) meng-abadi-kan idea, memori, suasana, proses, nilai, sesuatu tema atau peristiwa,dll); dan (5) proses dan medium buat meningkatkan akal-budi, emngembangkan daya cipta, member input atau komunikasi bagi rohani-jiwa-hati, dan mempertinggi nilai insani.

"Gimana sudah jelas?" tanyaku

"Bagus, ayah! Akan saya cermati arti dan fungsi puisi ayahanda nanti yang bertopik "Cinta Terbantai Sepi". Hasilnya berupa sorotan puisi-puisi penyair cengeng yang pernah kukagumi, hehehe...", dia membantai aku dengan sebutan penyair cengeng."Eh... gini-gini, ayah punya karya. Kamu punya mana? tanyaku

Ada benih marah yang mulai muncul dalam hatiku. Anakku ini menilai karya-karyaku cengeng, apa kurang bermutu sehingga diberinya julukan penyair cengeng. Sungguh tega dia memberi julukan demikian, batinku. Tetapi kemudian, saya sadar, ini adalah hak anak kandungku, semata wayang. Kritikannya harus aku terima. Sebab, sejelek apa pun penilaian anakku, itu juga bukti cintanya kepadaku. Ini sebuah ilmu yang aku terima dari anakku.
Tetapi rupanya dia membaca juga raut wajahku. Bagaimana pun ketika dia sebut penyair cengeng, aku mulai down. Kemudian dia diam sejenak. Mungkin dia mencari ungkapan pemanis untuk meredahkan kemarahanku. " Aku bangga punya ayah yang ganteng ini, meski ia aku beri sebutan penyair cengeng, ia masih bisa pasang senyum kepada anaknya", dia mulai mengambil hatiku.

"Hehehe, kamu pasti ada maunya!" potongku
"Kalau ada kemauan, apa salah ayah? " dia beragumen
Satu lagi ilmu yang kuterima dari anakku.Meski terbersit kemarahanku, dia masih berargumentasi. Artinya, dia tidak mau diam. Untuk berterima kasih kepadanya,kuberikan pertanyaan lagi, karena kemauan saja belum cukup anakku. Karena itu dibutuhkan aplikasinya."Maukah ananda terima kalau aku marah?"

Hehehe... memang susah kalau bertemu dengan orang seni. Masak marah diminta untuk diterima." Sebagai anak yang patuh kepada orangtua, pasti menerimanya, apalagi kalau memang aku salah", ia mulai memahami bahasa yang aku gunakan. Belum sempat aku menanggapi, dia duduk di depanku sambil kepalanya menunduk,"Maaf, ayah, ananda hanya guyon aja ko!" selorohnya, sembari meminta tulisanku untuk diketik di lap top-nya.***

Jakarta, 15 Juni 2009

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun