Penulis :
Usman Taip, SH, MH
Analis Hukum Pemerintah Provinsi Gorontalo
Email : koranlaw@gmail.com
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025 telah mengukir babak baru dalam sejarah kepemiluan Indonesia. Keputusan memisahkan Pemilu Nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD) dari Pemilu Daerah (DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala daerah) adalah langkah progresif yang bertujuan mengatasi kompleksitas "pemilu lima kotak" yang membebani penyelenggara, partai politik, dan bahkan pemilih. Namun, di balik semangat perbaikan ini, muncul tantangan konstitusional krusial: bagaimana mengisi jeda waktu antara berakhirnya masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 (2029) dengan jadwal Pemilu Daerah yang baru (2031)?
Wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD incumbent menjadi opsi yang mengemuka. Dalihnya, MK dalam putusannya memberikan mandat kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan "rekayasa konstitusional" terkait masa transisi. Namun, gagasan ini, meskipun praktis, berpotensi mencederai prinsip-prinsip fundamental hukum tata negara dan demokrasi yang telah kita bangun.
Perpanjangan Jabatan: Sebuah Kontradiksi Konstitusional
Masa jabatan anggota DPRD, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, adalah lima tahun. Prinsip ini selaras dengan amanat Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali." Periodisasi jabatan ini adalah pilar utama pembatasan kekuasaan, mencegah penumpukan otoritas, dan memastikan akuntabilitas pejabat publik kepada rakyat.
Jika masa jabatan anggota DPRD diperpanjang, bahkan dengan dalih "perbedaan status" (dari definitif menjadi penjabat), ini secara substansial tetap berarti individu yang sama terus memegang kekuasaan tanpa mandat baru dari rakyat untuk periode tambahan tersebut. Legitimasi mereka berasal dari pemilu lima tahun sebelumnya, yang mandatnya telah usai. Rakyat tidak memiliki kesempatan untuk memperbarui atau menarik mandat mereka melalui mekanisme elektoral yang seharusnya berkala. Ini adalah bentuk pengabaian hak konstitusional rakyat untuk memilih wakilnya secara berkala, yang secara esensial dapat dianggap sebagai "pencurian kedaulatan rakyat."
Konsep "Penjabat" (Pj.) dalam hukum tata negara kita lazimnya melekat pada jabatan eksekutif yang bersifat administratif, ditunjuk untuk mengisi kekosongan agar roda pemerintahan tetap berjalan. Menerapkan konsep Pj. pada jabatan legislatif yang dipilih langsung oleh rakyat, apalagi dengan orang yang sama yang telah usai masa jabatannya, dapat mengaburkan batas antara mandat politik dan penunjukan administratif. Ini berpotensi mengabaikan semangat pembatasan masa jabatan dan membuka celah bagi krisis legitimasi serta instabilitas politik di daerah.
Mengkritisi Preseden 1971: Belajar dari Sejarah Konstitusi
Beberapa pihak mungkin merujuk pada preseden perpanjangan masa jabatan anggota DPRD pada tahun 1971 sebagai pembenaran. Namun, penting untuk memahami bahwa tindakan yang dilaksanakan pada tahun 1971 tersebut, dalam perspektif hukum tata negara pasca-reformasi, merupakan penyimpangan konstitusi.
Konteks politik dan pemahaman hukum tata negara pada tahun 1971 sangat berbeda dengan era saat ini. Tahun 1971 adalah bagian dari Orde Baru, suatu periode di mana semangat pembatasan kekuasaan dan kedaulatan rakyat tidak sekuat dan sekritis era pasca-reformasi. Pada masa itu, mekanisme kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif sangat terbatas, dan partisipasi publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan belum sekental sekarang.
Era pasca-reformasi, yang ditandai dengan perubahan UUD 1945, lahir dari semangat untuk mengembalikan kedaulatan rakyat sepenuhnya dan memperkuat prinsip negara hukum. Pemahaman hukum tata negara saat ini jauh lebih kritis dan rentan terhadap resistensi publik jika terjadi penyimpangan. Oleh karena itu, merujuk pada praktik masa lalu yang tidak sejalan dengan semangat konstitusional saat ini adalah langkah mundur yang dapat mengancam fondasi demokrasi yang telah susah payah dibangun.
Pj. Anggota DPRD Berbasis Suara Elektoral: Rekayasa Konstitusional yang Ideal